Kamis, Juli 31, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Jendelahukum.com, Seputar Hukum – Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga kekuasaan kehakiman yang menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, memiliki kewenangan yaitu, 1) menguji UU terhadap UUD 1945, 2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, 3) memutus pembubaran partai politik, dan 4) memutus perselisihan hasil pemilu.

Selain itu, MK juga memiliki satu kewajiban konstitusional, yaitu memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Dalam rangka menjalankan kewenangannya, MK memiliki panduan dalam menjalankan persidangan. Panduan tersebut berupa asas-asas hukum yang digunakan sebagai pegangan bagi para hakim dalam menjalankan tugasnya mengawal konstitusi.

Asas-asas tersebut meliputi sebagai berikut:

1. Ius Curia Novit

Asas ius curia novit adalah asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. Sebaliknya hakim harus memeriksa dan mengadilinya. Asas tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman.

Asas ini berlaku dalam peradilan MK sepanjang masih dalam bingkai salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Sebagai contoh, Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 24C UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu wewenang MK adalah memutus pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Akan tetapi dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa MK berwenang menguji Perpu walaupun tidak ada ketentuan yang secara tegas tentang hal tersebut.

2. Persidangan Terbuka Untuk Umum

Asas bahwa persidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum merupakan asas yang berlaku untuk semua jenis pengadilan, kecuali dalam hal tertentu yang ditentukan lain oleh undang-undang.

Hal ini tertuang di dalam Pasal 13 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta juga ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK, bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.

Baca juga: Apa itu Asas Praduga Tidak Bersalah?

Persidangan terbuka untuk umum dimaksudkan agar proses persidangan dapat diikuti oleh publik sehingga hakim dalam memutus perkara akan objektif berdasarkan alat bukti dan argumentasi yang dikemukakan di dalam persidangan. Melalui persidangan yang terbuka untuk umum, publik juga dapat menilai dan pada akhirnya menerima putusan hakim.

Namun demikian, dalam hal tertentu dapat diputuskan oleh hakim konstitusi bahwa persidangan dilakukan secara tertutup. Hal itu misalnya terjadi pada saat sidang pemeriksaan alat bukti dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, khususnya tentang sensor film.

3. Independen Dan Imparsial

Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu perkara secara objektif serta memutus dengan adil, hakim dan lembaga peradilan harus independen dalam arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga dan kepentingan apapun, serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang berperkara atau imparsial.

Hal ini berlaku untuk semua peradilan yang dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang ditegaskan dalam Pasal 2 UU MK.

Independensi dan imparsialitas tersebut memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi fungsional, struktural atau kelembagaan, dan personal. Dimensi fungsional mengandung pengertian larangan terhadap lembaga negara lain dan semua pihak untuk mempengaruhi atau melakukan intervensi dalam proses memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.

Dimensi fungsional itu harus didukung dengan independensi dan imparsialitas dari dimensi struktural dan personal hakim Dari sisi struktural, kelembagaan peradilan juga harus bersifat independen dan imparsial sepanjang diperlukan agar dalam menjalankan peradilan tidak dapat dipengaruhi atau diintervensi serta tidak memihak.

Sedangkan dari sisi personal, hakim memiliki kebebasan atas dasar kemampuan yang dimiliki (expertise), pertanggungjawaban, dan ketaatan kepada kode etik dan pedoman perilaku

4. Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana, Dan Biaya Ringan

Prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan dimaksudkan agar proses peradilan dan keadilan itu sendiri dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Prinsip ini sangat terkait dengan upaya mewujudkan salah satu unsur negara hukum, yaitu equality before the law.

Jika pengadilan berjalan dengan rumit dan kompleks, berbelit-belit, serta membutuhkan biaya yang mahal, maka hanya sekelompok orang tertentu yang memiliki kemampuan berperkara di pengadilan, dan hanya orang-orang inilah yang pada akhirnya dapat menikmati keadilan.

Dengan tidak adanya biaya perkara tersebut, pembiayaan penanganan perkara di MK sepenuhnya dibebankan kepada anggaran negara. Salah satu contoh penerapan prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan adalah penggabungan perkara yang memiliki substansi sama, khususnya untuk perkara pengujian UU.

5. Hak Untuk Didengar Secara Seimbang (Audi Et Alteram Partem)

Pada pengadilan biasa, para pihak memiliki hak untuk didengar secara seimbang. Para pihak dalam hal ini adalah pihak-pihak yang saling berhadap-hadapan, baik sebagai tergugat-penggugat, pemohon-termohon, maupun penuntut-terdakwa.

Dalam peradilan MK tidak selalu terdapat pihak-pihak yang saling berhadapan (adversarial). Untuk perkara pengujian undang-undang misalnya, hanya terdapat pemohon. Pembentuk undang-undang, pemerintah dan DPR tidak berkedudukan sebagai termohon.

Baca juga: Prinsip atau Asas Keseimbangan dalam KUHAP

Dalam peradilan MK, hak untuk didengar secara seimbang, berlaku tidak hanya untuk pihak-pihak yang saling berhadapan, melainkan juga berlaku untuk semua pihak yang terkait dan memiliki kepentingan dengan perkara yang sedang disidangkan.

6. Hakim Aktif Dan Juga Pasif Dalam Persidangan

Maruarar Siahaan menyebut asas ini “Hakim pasif dan juga aktif dalam proses persidangan”. Hakim pasif dalam arti tidak mencari-cari perkara. Hakim tidak akan memeriksa, mengadili, dan memutus sesuatu sebelum disampaikan oleh pemohon ke pengadilan. Hal ini merupakan prinsip universal lembaga peradilan.

Pada saat suatu perkara sudah masuk ke pengadilan, hakim dapat bertindak pasif atau aktif bergantung dari jenis kepentingan yang diperkarakan. Dalam perkara-perkara yang menyangkut kepentingan individual, hakim cenderung pasif.

Baca juga: Nullum Delictum, Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali

Sebaliknya, dalam perkara yang banyak menyangkut kepentingan umum, hakim cenderung aktif. Hakim dapat bertindak aktif dalam persidangan karena hakim dipandang mengetahui hukum dari suatu perkara. Hal ini juga sesuai dengan asas ius curia novit, yang juga dapat diterjemahkan bahwa hakim mengetahui hukum dari suatu perkara.

Oleh karena itu pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya, dan hakim di pengadilan itu dapat aktif dalam persidangan. Hakim tidak hanya berpaku kepada alat bukti dan keterangan yang disampaikan oleh pemohon dan pihak terkait maupun dari keterangan saksi dan ahli yang diajukan oleh pihak-pihak tersebut.

Hakim konstitusi untuk keperluan memeriksa suatu perkara dapat memanggil saksi dan/atau ahli sendiri bahkan memerintahkan suatu alat bukti diajukan ke MK. Hakim konstitusi juga dapat mengundang para pakar yang didengar keterangannya dalam forum diskusi tertutup.

7. Praduga Keabsahan (Praesumptio Iustae Causa)

Asas praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai aturan hukum sampai dinyatakan sebaliknya. Berdasarkan asas ini, semua tindakan penguasa baik berupa produk hukum maupun tindakan konkret harus dianggap sah sampai ada pembatalan.

Sebagai konsekuensi dari asas ini, apabila ada upaya hukum untuk melakukan pengujian terhadap tindakan dimaksud, maka tindakan itu tetap berlaku walaupun sedang dalam proses pengujian.

Baca juga: Asas Presumptio Iustae Causa

Perwujudan dari asas ini dalam wewenang MK dapat dilihat pada kekuatan mengikat putusan MK adalah sejak selesai dibacakan dalam sidang pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum. Sebelum adanya putusan MK, maka tindakan penguasa yang dimohonkan tetap berlaku dan dapat dilaksanakan.

Hal ini secara khusus dapat dilihat dari wewenang MK memutus pengujian UU, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, dan perselisihan tentang hasil Pemilu.

Suatu ketentuan UU yang sedang diuji oleh MK tetap berlaku dan harus dianggap sah (tidak bertentangan dengan UUD 1945) sebelum ada putusan MK yang menyatakan ketentuan UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara juga demikian, tindakan termohon harus dianggap sah dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebelum ada putusan MK yang menyatakan sebaliknya.

Pada perkara perselisihan hasil Pemilu, keputusan KPU tentang penetapan hasil Pemilu yang dimohonkan keberatan oleh peserta Pemilu harus dianggap benar dan dapat dijalankan sebelum ada putusan MK yang membatalkan keputusan KPU itu.

 

Referensi:

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006. Klik Disini

Undang Undang Dasar 1945 klik disini

Undang Undang Tentang Mahkamah Konstitusi RI klik disini

UU No 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang Undang Tentang Mahkamah Konstitusi RI klik disini

hallojendela
hallojendelahttps://www.jendelahukum.com/
Melihat hukum dari berbagai perspektif

Recent Post

Related Stories

For Subcription