Selasa, Juli 1, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Penuntutan Progresif dalam Penegakan Hukum Pidana Kontemporer Di Indonesia

Jendelahukum.com, Perspektif – Penuntutan berdasarkan Pasal 1 butir 7 KUHAP adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang, untuk diperiksa dan diputus oleh Hakim disidang Pengadilan.

Sejalan dengan hal ini penuntutan menjadi hak absolut melekat pada Jaksa selaku pemegang asas dominus litis yakni hanya Jaksa yang berwenang menentukan layak atau tidaknya suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan.

Menurut Black’s Law Dictionary, Dominus Litis diartikan sebagai “The party who makes the decisions in a lawsuit, usually as distinguished from the attorney”, yakni sebagai penentu suatu perkara layak untuk diselesaikan atau tidak.

Baca juga: Refleksi Penegakan Hukum di Indonesia

Penuntutan secara nasional diatur dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam pasal tersebut disebutkan;

“Kejaksaan adalah Lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang”.

Sesuai dengan perkembangan hukum saat ini, Kejaksaan RI dibawah kepemimpinan Jaksa Agung Burhanuddin memiliki program mewujudkan Kebijakan Restoratif yakni pemulihan berdasarkan keadilan restoratif yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan yang diatur dalam Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Hal ini menurut penulis sejalan dengan tujuan hukum progresif. Hukum progresif sebagaimana menurut sang pencetusnya Prof. Satijpto Rahardjo merupakan hukum yang mengajukan gagasan berhukum harus keluar dari cara-cara yang konvensional dan bergerak dinamis mengikuti persoalan hukum di masyarakat.

Sejalan dengan hal tersebut dengan tidak mengurangi esensi Jaksa selaku pelaksana kekuasaan pemerintah dibidang penuntutan, penuntutan seyogyanya dilakukan berdasarkan ketentuan hukum dan memperhatikan rasa keadilan di masyarakat.

Baca juga: John Rawls: A Theory of Justice

Bagaimana kaitannya penuntutan yang bersifat progresif berdasarkan perkembangan pada praktek yang dilakukan jaksa, terdapat konsep yang mempertegas jaksa selaku pemegang asas dominus litis. Konsep ini telah dipraktekkan oleh negara-negara common law khususnya Amerika Serikat yakni Plea Bargaining.

Black’s Law menjelaskan Plea Bargaining sebagai kesepakatan hasil negosiasi antara jaksa dengan terdakwa sehingga terdakwa yang mengakui kesalahannya akan mendapat hukuman yang lebih ringan atau didakwa dengan hukuman yang lebih ringan.

Pada prakteknya terdapat tiga bentuk negosiasi yang ditawarkan: pertama, Charge Bargain, yaitu tersangka setuju mengaku bersalah untuk perbuatan-perbuatan tertentu saja dan jaksa akan menghapus dakwaan untuk perbuatan yang lain;

Kedua, Sentence Bargain yaitu tersangka setuju mengaku bersalah dan jaksa akan mengajukan tuntutan yang lebih ringan; dan ketiga, Fact Bargain yaitu tersangka setuju mengaku bersalah dan jaksa akan menghapus atau hanya menyampaikan fakta-fakta yang relevan dengan Pernyataan Fakta yang diberikan ke persidangan.

Namun konsep Plea Bargaining masih dalam pembahasan RUU KUHAP, tetapi untuk penanganan perkara tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dalam hal penegakan hukum berfokus kepada pengembalian kerugian negara.

Hal ini sejalan dengan Konsep Plea Bargaining. Selain konsep Plea Bargaining, praktek penuntutan pada negara-negara Common Law, mengenal istilah Deferred Prosecution Agreement (DPA) dan Non-Prosecution Agreement (NPA) sebagai suatu pendekatan ekonomi dalam penegakan hukum yang disebut juga dengan pendekatan Economic Analysis of Law.

Pendekatan ini bertujuan untuk menghindari Domino Effect yang akan ditimbulkan dari hukuman pidana dalam bisnis yang berimbas pada kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat.

DPA merupakan suatu kewenangan tetap yang dimiliki oleh jaksa untuk melakukan penuntutan, jaksa bersepakat dengan entitas bisnis untuk tidak melakukan penuntutan. Hal ini sejalan dengan hukum progresif yang mengedepankan keadilan yang bersifat restoratif melalui pendekatan Economic Analysis of Law.

Baca juga: Sebuah Refleksi Demokrasi Indonesia

Konsep DPA merupakan salah satu perkembangan dalam criminal justice system. jika dilihat kembali basis filosofis dari hukum acara pidana yang pada dasarnya tidak diperuntukan untuk memproses pelaku tindak pidana, melainkan untuk mengontrol kekuasaan aparat penegak hukum agar tidak berlaku sewenang-wenang.

Dalam konteks pidana khusus, berdasarkan ketentuan yang diatur dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tujuan pemberantasan korupsi menurut konvensi tersebut adalah memberantas korupsi secara efektif dan efisien, pemulihan asset (asset recovery) dan terbangunnya kerjasama internasional. Tidak ada satupun tujuan untuk menghukum pelaku seberat-beratnya.

Contoh penerapan konsep DPA dan NPA di Amerika yakni pada kasus Salomon Brother tahun 1992 dan Enron Scandal tahun 2003 serta kasus lain yang diselesaikan dengan mekanisme DPA adalah kasus Siemens tahun 2003 dan Kasus yang menjerat perusahaan mobil terkemuka Volkswagen karena kasus tingkat emisi gas buang yang dimanipulasi secara ilegal terhadap jutaan mobil diesel.

Jika dilihat contoh dalam rangka pelaksanaan penuntutan progresif di Indonesia, penanganan kasus korupsi Asuransi Jiwasraya dengan kerugian negara 16 Triliun Rupiah dan Kasus Korupsi Asabri dengan kerugian negara 22 Triliun Rupiah dengan terdakwa Heru Hidayat yang dituntut mati oleh JPU, mengingat karena korupsi yang dilakukan oleh terdakwa telah mengancam perekonomian negara dan mengkibatkan kerugian negara yang fantastis.

Terdakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Yang menjadi perhatian, pada kasus korupsi Asabri Heru Hidayat dituntut pidana mati sebagaimana ketentuan Pasal 2 Ayat (2) yakni dilakukan dalam keadaan tertentu.

Sedangkan dalam surat dakwaan hanya mencantumkan Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor saja, yang dimaksud “keadaan tertentu” adalah  alasan pemberat pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi  yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan pengulangan Tipikor.

Alasan JPU menuntut mati Heru Hidayat karena korupsi yang dilakukannya berkaitan dengan korupsi yang dilakukannya di Kasus Jiwasraya.

Kasus Valencya yang didakwa melanggar Pasal 45 Ayat (1) Jo Pasal 5 b UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Valencya dituntut 1 tahun penjara karena memarahi suaminya yang mabuk yang mengakibatkan kekerasan psikis.

Kasus ini menarik perhatian langsung Jaksa Agung dan langsung dilakukan Eksaminasi khusus terhadap perkara tersebut serta mengambil alih kasus tersebut.

JPU menarik tuntutan pidana satu tahun penjara terhadap terdakwa Valencya alias Nengsy Lim dan menggantinya dengan tuntutan bebas, dikarenakan tidak berpedoman kepada Pedoman Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum dan Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak Dalam Perkara Pidana.

Kasus lain yang merupakan langkah penuntutan progresif, Kasus Herry Wiryawan melakukan pemerkosaan terhadap anak dibawah umur, pelaku merupakan oknum guru sekaligus pimpinan pesantren melakukan pemerkosaan terhadap 12 orang anak sejak 2016.

Baca juga: Restoratif Justice Kejaksaan Perkuat Sistem Peradilan Pidana

JPU menuntut terdakwa dengan pidana mati atas perbuatan memperkosa belasan santriwati hingga hamil dan melahirkan, memberikan hukuman tambahan berupa kebiri kimia, membayar denda sebesar 500 Juta Rupiah subsider 1 tahun kurungan, penyebaran identitas dan pembekuan Yayasan pondok pesantren yang dikelola terdakwa.

Herry didakwa dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3), ayat (5) jo Pasal 78D UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 41 Tahun 2016 Tentang Perubahan ke Dua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang Jo pasal 65 ayat (1) KUHP.

Yang menjadi point dalam kasus tersebut adalah JPU menuntut mati terdakwa sedangkan dalam UU 17 Tahun 2016 tidak diatur ketentuan pidana mati bagi pelaku.  Alasan tuntutan mati JPU karena terdakwa melakukan pemberatan dengan menggunakan simbol agama dan lembaga Pendidikan sebagai alat manipulasi perbuatannya hingga korban terpedaya.

Berdasarkan contoh kasus diatas merupakan cerminan progresifitas jaksa dalam melakukan penuntutan, penuntutan yang bersifat progresif adalah penuntutan yang bermuara pada keadilan yang substantif, tidak hanya terbatas pada keadilan yang bersifat dogmatis yang terpaku akan kekakuan hukum positif.

Oleh karena itu penuntutan yang dilakukan berdasarkan hukum progresif merupakan langkah luar biasa yang dilakukan oleh Kejaksaan dalam mewujudkan rasa kadilan di masyarakat dan menjawab tantangan penegakan hukum khususnya dalam bidang penuntutan.

Zaki Bunaiya, S.H
Zaki Bunaiya, S.H
Calon Jaksa Pada Kejaksaan Negeri Banda Aceh

Recent Post

Related Stories

For Subcription