Jendelahukum.com – Pemerintah seharusnya arif dan bijaksana dalam menyikapi kejelasan status kewarganegaraan sejumlah eks ISIS yang berasal Indonesia. Masalahnya, persoalan pencabutan status kewarganegaraan seseorang itu bukanlah suatu hal yang sederhana, bahkan rentan melanggar prinsip perlindungan HAM.
Setiap negara di dunia tentu memiliki ketentuan yang berbeda terkait dengan kemungkinan pencabutan status kewarganegaraan warga negaranya. Namun begitu, berlaku satu kesepakatan umum bahwa pencabutan kewarganegaraan tersebut tidak boleh menyebabkan seseorang menjadi tuna kewarganegaraan (stateless).
Tentu tidak ada yang akan membantah bahwa kejahatan terorisme memang merupakan suatu kejahatan yang patut diperangi bersama. Namun begitu, tingkat kejahatan yang terkandung dalam perbuatan kriminal tidak bisa dijadikan alasan untuk menggugurkan status kewarganegaraan seseorang.
Dalam konteks Indonesia, UU 12/2006 sebagai instrumen yang mengatur tentang kewarganegaraan memang mengatur beberapa kemungkinan hilangnya status kewarganegaraan seseorang. Di antara beberapa alasan yang diatur dalam UU 12/2006 yang kemudian seringkali dijadikan justifikasi hilangnya status kewarganegaraan eks ISIS adalah ketentuan yang berbunyi sebagai berikut;
Pasal 23; Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraanya jika yang bersangkutan;….. d) masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden”;.. f) secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian negara asing tersebut”.
Dalam kaitannya dengan hilangnya status kewarganegaraan Indonesia eks ISIS, patut diajukan satu pertanyaan; adakah ISIS sudah berkualifikasi sbeagai negara sehingga, keterlibatan WNI dalam tentara ISIS menyebabkan gugur/hilangnya status kewarganegaraan para eks ISIS yang berasal dari Indonesia tersebut?. Tentu tidak!.
ISIS hanyalah kelompok terorisme jaringan internasional, tidak berkualifikasi sebagai negara sebagaimana diatur dalam Konvensi Montevideo, yang mempersyaratkan kemampuannya untuk melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain. Dan memang pada faktanya, tidak ada negara di dunia ini yang mengakui eksistensinya sebagai negara.
Prof. Hikmahanto, Guru Besar Hukum UI, yang kebetulan menyarankan agar pemerintah tidak usah ragu-ragu mencabut status kewarganegaraan eks ISIS, barangkali bisa berdalih bahwa pada Pasal 23 huruf d UU 12/2006 tidak dijelaskan secara eksplisit bahwa “dinas tentara” yang dimaksud tidak selalu berkaitan dengan negara.
Akan tetapi terhadap pendapat tersebut dapat diajukan satu pertanyaan kritis; “Mengapa terhadap mereka yang terlibat dalam gerakan separatis dan gerakan terorisme dalam negeri yang sekalipun harus mendekam dalam penjara dan dicap sebagai pengkhinat negara masih juga diakui kewarganegaraannya sebagai WNI?.
Terlebih jika melihat fakta bahwa pengaturan kemungkinan pencabutan status kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam UU 12/2006 sejatinya didasarkan pada dua prinsip utama, yaitu prinsip kewarganegaraan tunggal dan prinsip non-stateless secara bersamaan. Karena itu, pencabutan status kewarganegaraan tidak diperbolehkan menyebabkan orang yang bersangkutan menjadi tuna kewarganegaraan.
Berangkat dari pertimbangan itulah, agaknya akan lebih bijak bagi pemerintah untuk tidak menghalangi kepulangan eks ISIS tersebut ke tanah air. Tentu dalam hal ini pemerintah harus merumuskan langkah-langkah baik preventif maupun represif, terhadap sejumlah WNI eks ISIS tersebut. Diantaranya adalah memproses secara hukum para eks ISIS tersebut untuk mempertanggungjawabkan tindak pidananya.
Di samping itu, tentu pemerintah harus melakukan deradikalisasi sebagaimana diatur dalam UU 5/2018 tentang Tindak Pidana Terorisme. Cukup sulit memang, akan tetapi demikianlah tanggung jawab yang harus diemban oleh negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.