Monday, November 4, 2024
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Melawan Tradisi Buruk Dalam Demokrasi

Jendelahukum.com – Culture (budaya) merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi dan akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Bahasa ini berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah. Culture (budaya) adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Pewarisan budaya dari generasi ke generasi merupakan bentuk turun temurun artinya tidak lepas dari panutan zaman dulu, akan tetapi pewarisan ini adakalanya terjadi bak bencana dalam membawakan tradisi dari positif (baik) ke negatif (buruk). Hal ini yang menjadi bencana dalam menjalankan culture, maka persoalan ini harus ada solusinya yakni membuat penegasasan atau gagasan kembali untuk merestorasi dari negatif (buruk) ke positif (baik).

Sebagaimana diketahui, bergulirnya era reformasi telah membawa Indonesia kepada kehidupan yang lebih demokratis. Pemilu telah berulang-ulang kali diselenggarakan dengan cukup baik. Partisipasi masyarakat pun kian meningkat dari waktu ke waktu. Rakyat seolah berlomba-lomba untuk menyalurkan aspirasinya dalam memilih pemimpinnya di masa depan.

Keaktifan pemilih dalam menyongsong pesta demokrasi tak lepas dari peran penyelenggaraan pemilu yang tak lelah menyadarkan publik betapa pentingnya menggunakan hak pilih dan mengawasi proses pemilihan itu sendiri. Gerakan pengawasan partisipatif dalam pemilu yang digalakkan oleh Bawaslu RI sejalan dengan gerakan Revolusi Mental dalam meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Optimisme yang menyatakan bahwa demokrasi telah berjalan dengan baik dan cepat beradaptasi dengan kearifan lokal bangsa Indonesia dapat dilihat dari mulusnya transisi kekuasaan lewat pemilu yang demokratis. Di saat tren partisipasi pemilih dalam pemilu di negara lain cenderung menurun, Indonesia justru menunjukkan keadaan sebaliknya. Rakyat gegap-gempita memilih pemimpinnya di masa depan.

Semuanya tak lepas dari peran penyelenggara pemilu yang tak lelah menyadarkan publik untuk tidak menyia-nyiakan hak pilih mereka. Alhasil, publik tidak hanya datang lalu memilih, melainkan juga mengawasi pelaksanaan pemilihan.

Akan tetapi melihat dari optic sosiologi hukum sampai sekarang culture berdemokrasi kita masih menjalankan namanya politik uang (money politic). Politik uang (money politic) adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum.

Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik perut adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik Perut umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum.

Praktik politik perut dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan.

Padahal di dalam Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi:

“Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu.”

Meskipun demikian, sangat sulit menghapus praktik politik perut ketika cara berpikir politisi masih transaksional. Idealnya, pemilu merupakan mekanisme pemilihan oleh publik untuk memilih pejabat publik dengan melihat aspek visi dan misi program, untuk menjawab persoalan-persoalan publik. Tetapi, akibat politik perut, relasi keterpilihan bukan didasari aras ideal. Tetapi, bergeser ke arah nilai transaksional dalam pemilu/pilkada.

Meskipun lembaga Riset telah berbicara dalam demokrasi kita telah berjalan dengan baik dan cepat diadaptasi dengan kearifan lokal bangsa Indonesia. Karena hal ini dapat dilihat dari mulusnya transisi kekuasaan melalui pemilihan umum yang demokratis.

Akan tetapi menurut penulis harus ada solusi yang sifatnya penegasan atau pelarangan yang mutlak, karena potensi “pembajakan suara rakyat” selalu ada. Beragam cara manipulasi dapat dilakukan. Oleh karenanya, pengawasan pemilu perlu dilakukan bersama dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan supaya tidak terulang kembali.

Hal ini dikarenakan bagian terpenting dalam proses pendelegasian kekuasaan adalah setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk menentukan siapa wakil yang dianggap terbaik dalam membawakan suara dan kepentingannya. Oleh karena itu, pemilu harus bersih; harus dilakukan secara jujur dan adil sehingga mencerminkan suara rakyat yang sebenarnya.

Ahmad Husein
Ahmad Husein
Magister Hukum Kenegaraan UGM

Recent Post

Related Stories

For Subcription