Jendelahukum.com, Perspektif – Dalam kurun waktu terakhir beberapa laman berita online menyuguhkan serangkaian kabar yang menyajikan berbagai macam jenis kasus hukum yang berkaitan dengan upaya gugatan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat terhadap orang atau badan hukum tertentu. Hal ini kemudian dikenal dengan gugatan perwakilan atau class action.
Pada mulanya, mekanisme gugatan class action hanya dikenal dan dipraktikkan dibeberapa negara yang menganut common law system atau stelsel anglo saxon. Namun seiring berjalannya waktu, karena semakin kompleksnya problematika kasus hukum dan desakan kebutuhan masyarakat akan sarana keadilan guna mengakomodasi kepentingan umum (public interest), maka konsep gugatan class action pada akhirnya diadopsi di beberapa negara eropa kontinental yang menganut civil law system.
Berdasarkan pengertian class action menurut Pasal 10 Rules of Procedures yang termuat dalam Supreme Court Judicature Act (1873) dijelaskan bahwa “Where there are numerous parties having the same interest in one action, one more of such parties may sue or may be authorized by the court to defend in such on behalf of or for the benefit of all parties so interested”.
Sedangkan pengertian lain mengenai class action yang dikenal sebagai gugatan perwakilan kelompok dalam Pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 adalah “Suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud”.
Istilah class action dikenal dalam sistem hukum di Indonesia yakni pasca disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Dalam Pasal 91 ayat (1) UUPPLH terkait Hak Gugat Masyarakat dijelaskan juga bahwa “Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”.
Keadaan ini yang kemudian dapat kita garis bawahi pula bahwa baik class action yang diatur dalam UUPPLH, UUPK maupun UU Kehutanan hanya terkait pada prosedural, bukan mekanisme atau tata cara pemeriksaan di persidangan. Jadi class action hanya berlaku secara limitatif atau terbatas hanya pada permasalahan yang diatur dalam Undang-undang a quo.
Mekanisme pengajuan gugatan Class Action
Selain itu, yang perlu kita ketahui bersama bahwa ada beberapa syarat yang mesti diperhatikan masyarakat apabila hendak mengajukan gugatan kelompok atau class action seperti di antaranya; harus ada kesamaan (commonality) fakta hukum dan kepentingan yang sama (the same legal interest), tuntutan yang sama (seek the same legal redress), melibatkan banyak penggugat atau tergugat yang apabila menggunakan pendekatan gugatan perdata biasa berpotensi pada ketidakefektifan (numerosity) dan terakhir ialah kelayakan mewakili ataupun kualifikasi yang harus dipenuhi dalam mengajukan gugatan perwakilan (adeguacy of representation).
Oleh sebab itu pada pokoknya yang menjadi syarat utama diajukannya gugatan class action ialah bahwa pihak yang mewakili (class representatif) memiliki kepentingan atas kerugian dan penderitaan yang sama dengan pihak yang diwakilinya (class member) sebagai akibat dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh tergugat. Syarat itu yang kemudian secara eksplisit dipertegas dalam Pasal 91 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dan perlu diketahui pula bahwa jika kita merujuk pada Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 yang dikatakan bahwa gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara Gugatan Perwakilan Kelompok apabila:
Pertama, Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan; kedua, Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan diantara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya.
Baca juga: Upaya Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Mekanisme Small Claim Court
Ketiga, Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya; dan yang terakhir, Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.
Dengan menggunakan prosedur gugatan class action setidaknya masyarakat mendapatkan kemudahan akses untuk menuntut keadilan karena adanya kolektifitas atau penggabungan tuntutan bagi masyarakat tanpa harus dilakukan secara individu sehingga tidak terjadi pengulangan terhadap suatu kasus atau fakta hukum yang sama (acces to justice) dan biaya berperkara jauh lebih ekonomis, efisien dan terjangkau bagi masyarakat jika dilakukan secara berkelompok (judicial economy).
Tahapan gugatan class action
Mengenai tahapan pelaksaan beracara class action telah diatur di dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Kelompok.
Yang pertama adalah pengajuan berkas gugatan. Dalam mengajukan gugatan melalui class action para pihak penggugat atau wakil kelompok harus memenuhi kriteria atau syarat yang telah ditetapkan sehingga layak dikatakan sebagai gugatan class action.
Kedua, Sertifikasi. Setelah para pihak penggugat mengajukan berkas gugatannya maka pengadilan dalam hal ini hakim wajib memeriksa dan mempertimbangan kriteria gugatan class action.
Apabila prosedur itu kemudian dinyatakan sah, maka hakim memerintahkan kepada pihak penggugat untuk mengajukan usulan model pemberitahuan. Namun apabila justru berkas tersebut tidak memenuhi syarat dan dinyatakan tidak sah, maka pemeriksaan dihentikan dengan suatu putusan hakim. (vide Pasal 5 Perma No. 1 Tahun 2002).
Baca juga: Memahami Hukum Pidana: Definisi, Tujuan, dan Sifatnya
Ketiga, Pemberitahuan. Setelah hakim memutuskan bahwa berkas atau kriteria para penggugat dalam mengajukan gugatan class action dinyatakan sah, maka berdasarkan persetujuan hakim dalam kurun waktu yang telah ditentukan melakukan pemberitahuan pada setiap anggota kelompok. Hal ini yang kemudian memberikan kesempatan kepada anggota kelompok untuk memilih apakah tetap ikut serta dalam gugatan atau menyatakan diri keluar dari keanggotaan.
Keempat, Pemeriksaan dan Pembuktian. Dalam tahap ini biasanya dilakukan seperti pemeriksaan dalam beracara perdata pada umumnya.
Dan yang terakhir ialah putusan. Berdasarkan pada Pasal 9 dalam Perma a quo dikatakan bahwa, “Dalam hal gugatan ganti rugi dikabulkan, hakim wajib memutuskan jumlah ganti rugi secara rinci, penentuan kelompok dan/atau sub kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban melakukan pemberitahuan atau notifikasi”.
Tantangan dan Hambatan
Kendati beberapa produk Undang-undang sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok yang telah mengatur sedemikian rupa mengenai prosedur maupun mekanisme pelaksanannya, namun ketiadaan instrumen dasar hukum acara perdata yang lebih mengatur secara eksplisit, rinci dan jelas dalam menjalankan mekanisme gugatan perwakilan, secara yang kita ketahui bersama bahwa hukum acara perdata yang diakui dan dipraktikkan di Indonesia hanya HIR (Herzien Inlandsch Reglement) dan Rbg (Rechtreglement voor de Buitengewesten) yang secara eksplisitnya tidak mengenal pengajuan gugatan melalui prosedur class action, dan selain itu peraturan pelaksana atas undang-undang yang mengatur terkait gugatan class action masih belum tersedia.
Maka dari itu, hal-hal fundamental dan esensial seharusnya lebih difokuskan seperti halnya merevisi hukum acara perdata maupun melakukan pembaharuan hukum (law and legal reform) guna memenuhi, melengkapi kekosongan hukum, tuntutan dan juga kebutuhan hukum bagi masyarakat.
Baca juga: Penuntutan Progresif dalam Penegakan Hukum Pidana Kontemporer Di Indonesia
Ketiadaan sandaran payung legalitas tentunya menciptakan suatu ketidakpastian hukum, disharmonisasi, rintangan, hambatan bahkan berimplikasi pada disparitas putusan yang pada akhirnya tidak terwujudnya asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan (contante justitie) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Adapun kendala yang sering kali ditemui dalam praktik gugatan class action yakni di antaranya permasalahan mengenai perlimpahan surat kuasa dari anggota kelompok yang kerap kali menjadi bahan keberatan atau bantahan dari pihak tergugat, kerumitan penyusunan surat gugatan karena banyaknya pihak yang terlibat sebagai penggugat, proses pemeriksaan di pengadilan yang berbeda dengan hukum acara perdata biasa, bahkan sering pula gugatan tidak dapat diterima (Niet ontvankelijk verklaard) karena tidak memenuhi kualifikasi ataupun kriteria sebagai gugatan class action, maupun implementesi atau mengenai pelaksanaan putusan pengadilan yang berkaitan dengan pendistribusian ganti kerugian.