Sabtu, Agustus 23, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Mengapa Sistem Presidensil Inkompatible dengan Sistem Multipartai?

Jendelahukum.com – Perpaduan antara sistem multipartai dan sistem presidensil di Indonesia seringkali menjadi pembicaraan hangat di kalangan ahli hukum. Salah satu persoalannya, kombinasi antara dua sistem tersebut dipandang tidak cocok.

Seperti yang dikatakan oleh Juan J Linz, penerapan sistem presidensialisme dalam konteks multi partai bukan kombinasi yang cocok karena akhirnya akan berujung pada apa yang disebutnya “breakdown of democratic regime”.

Baca juga: Resensi Buku: Penyederhanaan Partai Politik

Bukan hanya Linz, Scott Mainwaring (2008) mengatakan: “…But the combination of presidentialism and a fractionalized multi-party system seems especially inimical to stable democracy.”.

Lantas apa saja factor-faktor penyebab ketidakcocokan antara system presidensil dan system multipartai? Sebagai berikut:

Minority President

Minority president merupakan suatu keadaan dimana seorang presiden tidak memiliki dukungan mayoritas suara parlemen. Keadaan demikian sangat mungkin terjadi karena pemilihan presiden dan parlemen diselenggarakan secara terpisah.

Dalam konteks demikian, maka realitas politik dalam hubungan kerja antara parlemen dan presiden menjadi tidak stabil. Selain itu, juga adanya pemerintah yang terbelah (devided government), dimana sebagian dukungan politik ke presiden dan sebagian lain ke parlemen.

Di dalam penelitiannya, Mainwaring juga menjelaskan dengan data empirik, bahwa ternyata hanya 4 negara dari 31 negara yang stabil menjalankan pemerintahannya dengan sistem pesidensial berbasis multipartai. Keempat negara tersebut adalah Amerika Serikat, Costa Rica, Columbia, dan Venezuela.

Sebaliknya, mayoritas negara-negara yang menganut sistem parlementer-multipartai dinilai sukses dalam hal menjaga stabilitas dan efektifitas pemerintahan. Beberapa negara tersebut antara lain; Australia, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Jerman, Irlandia, Belanda, Inggris, Selandia Baru, Italia, dan sebagainya.

Dual-legitimacy

Sebab lain sistem presidensial tidak kompatibel dengan sistem multipartai adalah adanya “Dua-legitimacy” antara presiden dan legislatif yang sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Ini akan menyebabkan keduanya menjadi rivalitas yang tidak terobati ketika membahas kebijakan-kebijakan publik.

Karena itu, dalam prakteknya Presiden tidak bisa leluasa dalam membentuk kabinetnya. Mau tidak mau ia akan dipaksa untuk mengakomodasi individu elite parpol guna mendapatkan dukungan suara di parlemen.

Begitu pula yang terjadi dalam pengambilan keputusan-keputusan public akan dikerjakan presiden akan diwarnai oleh kompromi dan akomodasi kepentingan antara partai di parlemen yang berbeda dengan partai presiden.

Baca juga: Telaah Kritis Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pilkada Langsung

Padahal berkaca pada pengalaman yang terjadi di Indonesia sejauh ini menunjukkan bahwa koalisi politik yang terbentuk dalam sistem Presidensilalisme cenderung bersifat rapuh dan mudah. Di satu sisi, partai-partai politik yang tergabung dalam koalisi harus loyal pada Presiden.

Namun, di sisi lain, partai anggota koalisi seringkali bermanuver di parlemen, karena dihadapkan pada kepentingan membangun popularitas untuk memenangkan kompetisi berikutnya.

Akibatnya, Presiden yang merupakan single chief of executive dalam sistem Presidensialisme tidak bisa bekerja secara efektif karena terganggu dengan konfigurasi politik di parlemen yang sangat fluktuatif.

hallojendela
hallojendelahttps://www.jendelahukum.com/
Melihat hukum dari berbagai perspektif

Recent Post

Related Stories

For Subcription