“Pemerintah terus membuka diri terhadap masukan dari insan pers. Jasa insan pers sangat besar bagi kemajuan bangsa selama ini dan di masa yang akan datang,” Ucap Jokowi saat memberikan sambutan Hari Pers Nasional di Istana Negara, Jakarta, Selasa (9/2/2021).
—-
Jendelahukum.com, Perspektif – Banyak pihak yang meragukan keseriusan ajakan kritik yang dilontarkan oleh Jokowi tersebut. Saya pun turut di dalamnya karena melihat pemerintah lebih memilih untuk acuh tak acuh saat masyarakat masih merasa dihantui oleh Buzzer dan bayang-bayang ancaman kriminalisasi.
Bagaimana tidak, jika melihat catatan Kontras, per Oktober 2020 lalu. Tidak kurang dari 14 orang diproses hukum dalam 10 peristiwa kritik terhadap Jokowi. Kemudian, dari 14 peristiwa yang menghina Polri, 25 orang diproses. Belum lagi proses hukum terhadap empat orang yang menghina pemda dalam empat peristiwa berbeda.
Dengan fakta yang seperti itu, Jokowi datang bak pahlawan serta mengatakan; “Kami butuh dikritik”. Adakah tafsir lain yang bisa diajukan terhadap tantangan kritik Jokowi itu selain sebuah paradoks demokrasi?
Hantu UU ITE dan Kriminalisasi
Bayang-bayang kriminalisasi selalu menjadi momok menakutkan bagi masyarakat dalam mengutarakan kritik. Salah satu orang yang jadi korban UU ITE setelah mengkritik pemerintah adalah Faisol Abod Batis pada 17 Juli 2019 lalu. Dia dipolisikan setelah mengkritik Jokowi soal konflik agraria dengan basis data di Instagram.
Selain itu, masih banyak lagi pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat yang dialami oleh masyarakat sipil. Sebut saja kasus yang menimpa Dandhy Dwi Laksono, seorang sutradara, aktivis, dan jurnalis yang ditangkap polisi pada September 2019 lalu, lantaran twitnya di twitter dianggap menebarkan kebencian berdasarkan SARA.
Untuk lebih spesifiknyanya twit Dandhy yang mengangkat soal kisruh di Papua dituding melanggar Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kasus lainnya, Ananda Badudu, seorang musisi sekaligus eks wartawan Tempo yang menggalang dana melalui situs crowdfunding, Kitabisa.com untuk mendukung aksi protes mahasiswa terhadap revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sejumlah rancangan undang-undang bermasalah lainnya pada September 2019 lalu.
Banyak pihak yang berpartisipasi. Dalam dua hari, dana yang dihimpun lebih dari Rp 100 juta, jauh melampaui target awal mereka. Akan tetapi, akibat penggalangan tersebut Ananda Badudu ditangkap oleh pihak kepolisian atas dugaan keterlibatan dalam aksi demonstrasi di depan Gedung DPR/ MPR RI.
Lain dari pada itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bahkan mencatat setidaknya ada 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Kebrutalan Buzzer
Kebrutalan buzzer pemerintah pun turut menjadi biang keresahan masyarakat dalam menyampaikan kritik. Kwiek Kian Gie, seorang ekonom yang juga kader PDIP menyampaikan keresahan yang sama. Kwik bahkan mengatakan bahwa di era orde baru ia masih dengan leluasa menyampaikan kritik. Akan tetapi tidak dengan di rezim ini.
“Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil,” ucap Kwik di akun Twitternya @kiangiekwik pada 6 Februari 2021 lalu.
Apa yang takutkan oleh Kwik tentu bukan isapan jempol belaka. Roy Murtadho, pengelola Pesantren Misykat Al-Anwar, Bubulak, Bogor, juga aktif di Front Nahdliyin untuk Keadilan Sumber Daya Alam (FNKSDA). Dia dikenal penulis yang kritis terhadap isu sosial dan lingkungan. Tapi akibat kekritisan itu, akun media sosialnya diretas oleh pihak anonim.
Tidak heran jika kemudian persepsi indeks demokratisasi di Indonesia semakin menurun. Survei Indikator Politik Indonesia menyebut 36 persen responden menyatakan Indonesia menjadi kurang demokratis dan 37 persen menyatakan Indonesia tetap sama keadaannya. Hanya 17,7 persen yang menyatakan bahwa Indonesia lebih demokratis.
Melihat bentangan fakta di atas, pemerintah harusnya menyadari bahwa untuk menumbuhkan kekritisan masyarakat harus langkah-langkah yang mendorong jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat. Tanpa hal tersebut, maka isyarat bahwa pemerintah tidak anti terhadap kritik akan menjadi omong kosong dan isapan jempol belaka.