Jendelahukum.com – “Who will watch the watcher?” atau yang dalam bahasa latinnya “Quis custodiet ipsos custodes?” merupakan sebuah pertanyaan filosofis yang ditemukan dalam karya penyair Romawi Juvenal (penyair di abad 1/2) dalam satirnya, yang mencoba menggugat kemampuan seorang laki-laki menjadi pengawas bagi perempuan dari kejahatan seksual, sementara ia sendiri memiliki potensi untuk melakukan kejahatan serupa.
Secara harfiah pertanyaan itu bisa diartikan ke dalam bahasa Indonesia; “Siapa yang akan pengawasi seorang pengawas?”.Jika tarik ke dalam konteks persolan RUU KPK, maka pertanyaan utamanya adalah “Siapkah kita memberi kepercayaan kepada Dewan Pengawas yang hendak dimunculkan oleh DPR itu untuk mengawasi KPK, sementara ia sendiri juga berpotensi melakukan hal serupa?.
Baca juga: Themis Sebagai Simbol Keadilan?
Keresahan publik terhadap RUU KPK bukan persoalan mereka menolak perubahan, melainkan subtansi dari perubahan yang terkandung di dalam RUU KPK tersebut mengandung sejumlah persoalan yang berpotensi memperlemah KPK dalam memberantas salah satu kejahatan yang paling dibenci di republik ini. Korupsi!
Harus kita akui, KPK dengan segala kekurangannya memang membutuhkan pembaharuan atau perbaikan secara kelembagaan. Sebut saja, perihal kewenangan mengeluarkan SP3 yang tidak dimiliki oleh KPK, yang berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum bagi tersangka. Atau kelemahan-kelemahan lainnya yang tentu perlu kita diskusikan secara panjang untuk menemukan formulasi perbaikan terhadap kelembagaan KPK.
Hanya saja, dalam konteks pengajuan RUU KPK yangberjalan di ruang senyap dan tanpa partisipasi publik yang memadai, DPR sekonyong-konyongnya menawarkan obat mujarab bagi yang menurut mereka dapat menyembuhkan segala kekurangan KPK, yaitu Pembentukan Dewan Pengawas bagi KPK.
Baca juga: Beberapa hal yang menggugurkan kewarganegaraan
Mengacu pada Naskah RUU KPK, Dewan Pengawas yang dimaksud hendak diberikan beberapa kewenangan yang berpotensi mengebiri independensi KPK dalam pemberantasan korupsi, di antaranya adalah; Kewenangan untuk memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan. Padahal kita sendiri mengetahui bahwa penyadapan merupakan instrumen utama yang dimiliki KPK dalam membongkar tindak pidana sejauh ini semakin terkonsolidasi dan sistemik.
Lawan KPK bukan orang-orang sembarangan; mereka adalah orang-orang yang kuat secara politik dan ekonomi. Akan sangat mudah bagi mereka untuk melakukan intervensi proses penegakan hukum. Lagi pula, adakah jaminan bahwa dewan pengawas yang hendak bentuk akan secara obyektif dalam memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan?
Jika tidak, maka kita pun cukup beralasan mengemukakan pertanyaan Juneval yang tidak akan pernah berakhir, “Who will watch the whatcher? Siapa yang akan mengawasi pengawas?”. Saya kira butuh waktu lebih dari 16 hari (Menuju 1 Oktober 2019) bagi DPR untuk merenungkan hal tersebut.
Dalam konteks sekarang, kita pun bisa mengajukan pertanyaan serupa; “Jika KPK hendak diawasi, maka siapa yang akan mengawasi dewan pengawas KPK?”. Saya kira dari sekian subtansi yang tertuang dalam RUU KPK bertumpu pada pertanyaan filosofis; “Who will watch the whatcher?,
Baca juga: Benarkah Eks Kombatan ISIS Kehilangan Kewarganegaraannya?
Saya kira cukup beralasan jika publik khawatir bahwa agenda Revisi UU KPK yang diajukan oleh DPR akan berakhir pada pelemahan kelembagaan KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi. Pasalnya, selain mengandung item-item “bermasalah”, upaya revisi UU KPK itu muncul menjelang tiga minggu berakhirnya masa jabatannya.
Saya tidak menampik bahwa KPK secara kelembagaan memang memiliki sejumlah persoalan di dalamnya, akan tetapi benarkah pengadaan dewan pengawas bagi KPK adalah obat mujarab.
Secara subtansi, saya sendiri melihat bahwa keberatan utama publik terhadap item-item perubahan tersebut sebenarnya bertumpu persoalan independesi KPK dalam melakukan pemberantasan Korupsi.
sehingga pada akhirnya kita akan selalu dihadapkan pada sebuah pertanyaan yang dulu pernah dilontarkan Juvenal dalam Satir-nya; ““Quis custodiet ipsos custodes?”, atau “Who will watch the watcher?”, dalam konteks RUU KPK
Secara umum pertanyaan itu merupakan perwujudan dari pertanyaan filosofis ke mana kekuatan tertinggi harus berada. Ini dapat dikaitkan sebagai dasar, atau setidak-tidaknya ringkasan, konsep pembagian kekuasaan politik amerika serikat. Setiap saat seorang penjaga diawasi oleh dua penjaga sehingga menghilangkan kemungkinan korupsi.