Jendelahukum.com, Seputar Hukum – Dalam dunia ilmu hukum, sering kita menemui istilah hukum seperti grasi dan rehabilitasi, amnesti hingga abolisi. Tidak sedikit dari masyarakat yang bingun untuk membedakan keempat istilah tersebut. Bahkan media pun kadang kala mempergunakannya secara tumpang tindih.
Lantas apa yang dimaksud dengan grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi tersebut? Berikut penjelasannya.
Grasi
Secara harfiah grasi berarti pengampunan. Grasi diartikan sebagai pengampunan yang diberikan oleh kepala negara kepada seseorang yang telah dijatuhi pidana.[1] Aturan mengenai grasi terdapat dalam 14 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”.
Baca juga: Ingin Jadi Presiden? Ini Dia 5 Jenis Kewenangannya
Pelaksanaan grasi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi. Dalam undang-undang a quo grasi didefiniskan sebagai pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidan yang diberikan oleh presiden.
Dengan demikian, pemberian grasi tidak serta merta menghapuskan kewenangan menjalankan pidana. Grasi diajukan oleh terpidana terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuata hukum tetap.
Permohonan grasi hanya dapat diajukan atas putusan pemidanaan berupa pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat dua tahun.[2]
Rehabilitasi
Secara Bahasa, rehabilitasi berarti pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yang dahulu (semula). Presiden dapat memberikan rehabilitasi kepada seseorang tertentu sebagaimana ketentuan pasal 14 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”.
Selain itu, rehabilitasi juga diatur dalam Pasal 1 angka 23 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dengan memberikan definisi sebagai berikut:[3]
Baca juga: Jaksa Agung Terbitkan Pedoman Rehabilitasi Napi Narkoba
“Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP.”
Selanjutnya ditentukan dalam Pasal 97 bahwa seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan.
Amnesti
Amenesti berasal dari bahasa latin yang secara harfiah penghapusan penuntutan terhadap tersangka dengan undang-undang.[4] Amnesti diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Dengan perlibatan DPR dalam pengambilan keputusan, dapat ditarik kesimpulan bahwa kendatiun amnesti adalah hak preoregatif presiden, namun untuk memutuskannya diperlukan pertimbangan politik.
Baca juga: Jokowi Berikan Amnesty Kepada Dosen Unsyiah Korban UU ITE
Pelaksanaan amnesti lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang Darurat No.11 Tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi.[5] Dalam undang-undang a quo, tidak diberikan pengertian amnesty.
Pemberian amnesti oleh presiden, atas kepentingan negara, setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri kehakiman.
Artinya undang-undang a quo tidak lagi selaras dengan UUD 1945 pasca amandemen.
Amnesti menurut undang-undang a quo diberikan kepada semua orang yang sebelum tangga 27 Desember 1949 telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia dan kerajaan Belanda.
Dengan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana dihapuskan.
Abolisi
Abolisi berasal dari kata abolition yang pengertiannya kurang lebih adalah penghapusan penuntutan terhadap delik yang terjadi.[6] Sama seperti amnesti, abolisi terdapat pada Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 dan diatur bersamaan dalam Undang-Undang Darurat No.11 Tahun 1954.
Undang-undang a quo juga tidak memberikan definisi mengenai abolisi. Presiden dalam memberikan abolisi dapat meminta nasihat dari Mahkamah Agung. Dengan pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang tersebut ditiadakan.
Ada pertentangan dalam undang-undang a quo antara pemberian abolisi dan pengertian abolisi itu sendiri. Di satu sisi, dinyatakan bahwa presiden dapat memberikan abolisi atas tindak pidana yang telah dilakukan seseorang, namun disisi lain menyatakan bahwa abolisi membawa konsekuensi hapusnya penuntutan pidana.
Kalau pemberian abolisi terhadap suatu perbuatan pidana yang dilakukan berarti sudah ada putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum bahwa orang tersebut bersalah melakukan suatu perbuatan pidana.
Padahal pengertian hukum abolisi itu sendiri adalah penghapusan penuntutan pidana. Artinya belum ada pemeriksaan lebih lanjut apakah orang tersebut bersalah atau tidak.
Referensi:
[1] Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, hlm. 38. 221-222
[2] Lihat Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi
[3] Pasal 1 angka 23 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
[4] Andi Hamzah, op.cit, hlm. 38.
[5] Undang-Undang Darurat No.11 Tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi
[6] 2Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, hlm. 38.