Jendelahukum.com, Perspektif – Pembukaan UUD 1945 merupakan landasan dasar (staatsfundamentalnorm) bagi Negara Republik Indonesia. Ia merupakan kesepakan luhur (modus vivendi) para pendiri bangsa. Di dalamnya terkandung nilai-nilai filosofis, historis, yuridis, dan sosiologis tentang dasar kenegaraan dan kebangsaan Indonesia.
Sebagai landasan dasar, pembukaan UUD 1945 merupakan ruh dari segala ketentuan yang tertuang dalam batang tubuh konstitusi. Sehingga jika ruh itu hilang, maka yang tersisa hanyalah jasadnya semata, yang sesekali akan terkulai kehilangan arah dalam menentukan perjalanan bangsa.
Baca juga: Refleksi Hari lahir Pancasila; Nilai-Nilai Pancasila Kian Memudar?
Untuk itu, pemahaman terhadap permbukaan UUD 1945 merupakan suatu keharusan bagi setiap elemen bangsa, mulai dari pemangku kekuasaan hingga kalangan masyarakat bawah. Karena dengan demikianlah nilai-nilai dasar itu akan hidup meliputi setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ada suatu pandangan menarik yang pernah diutarakan oleh pegiat formalisasi syariat Islam, bahwa yang dimaksud dengan sila pertama, ketuhanan yang maha esa, adalah Allah Swt. Pandangan ini didasarkan pada fakta bahwa dalam pembukaan UUD 1945, secara eksplisit disebutkan kalimat “Dengan rahmat Allah yang maha kuasa…dst”.
Namun, benarkah demikian? Dalam tulisan ini, saya akan mencoba menguraikan rentetan sejarah perjalanan bangsa kita berkaitan dengan kata “Allah” tersebut. Agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman yang berujung pada klaim yang berpotensi mendestruksi kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Asal muasal kata “Allah” dalam Pembukaan UUD 1945
Sebagaimana diketahui, perumusan pembukaan UUD 1945 sangatlah kental dengan nuansa ideologis. Rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang semula disepakati dalam sidang BPUPKI menjadi pembukaan UUD 1945, nyatanya diubah lagi, sehingga terjadi kompromi ideologis yang bersejarah dengan mencoret 7 (tujuh) kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dari teks pembukaan UUD 1945.
Sebagai konsekuensinya, disepakati pula bahwa segala istilah yang identik dengan Islam pun turut pula dihapuskan dari pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. Akan tetapi, yang menarik bahwa dalam teks pembukaan itu nyatanya masih menyisakan satu istilah yang dalam perjalanannya kerapkali menimbulkan perdebatan ideologis yang berkepanjangan, yaitu kata “Allah” dalam aline ke-III pada Pembukaan UUD 1945.
Baca lainnya: Perda Berbasis Nilai Agama dalam Perspektif Pancasila
Dalam sejarah tercatat bahwa dalam sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, I Gusti Ketut Pudja, mengusulkan agar kata “Allah” itu diganti dengan kata “Tuhan”, sehingga rumusan alinea ke-III ini berubah menjadi; “Atas berkat rahmat Tuhan yang maha kuasa..”.
Akan tetapi ketika naskah UUD 1945 itu dituangkan dalam Berita Lembaran Negara Republik Indonesia tanggal 15 Februari 1946, naskah yang dimasukkan adalah naskah yang masih menggunakan kata “Allah”. Begitu pula naskah UUD 1945 yang diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, di dalamnya masih menggunakan kata “Allah”.
Naskah ini pula yang menjadi obyek amandemen konstitusi yang terjadi pada tahun 1999-2002. Berdasarkan kesepakatan para anggota MPR pada waktu itu tidak menginginkan perubahan terhadap pembukaan UUD 1945. Sehingga akhirnya, teks pembukaan UUD 1945 ini pun sama sekali tidak tersentuh dan digunakan secara resmi sampai dengan sekarang.
Memaknai kata “Allah”
Setelah menyadari historis pencantuman kata “Allah” dalam pembukaan UUD 1945 semestinya tidak perlu lagi terjadi perdebatan-perdebatan ideologis atau klaim sepihak dari pihak manapun. Kata “Allah” tidak semestinya dipatenkan menjadi milik umat islam semata, sepertihalnya yang terjadi di Malaysia. Sebab di lain pihak, umat kristen sudah sejak lama dalam bible-nya menggunakan kata “Allah” juga.
Oleh karena itu, sebaiknya kata “Allah” itu kita terima saja sebagai istilah tuhan bagi semua agama. Sebagaimana menurut Jimly Asshiddiqie, kata “Allah itu seharusnya dipahami sebagai penamaan khas Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana dimaksudkan dalam pancasila dan UUD 1945.
Untuk itu, tidak perlu diidentikkan dengan agama islam dan tidak perlu juga diartikan sebagai ancaman, terutama bagi mereka yang menganut agama islam. Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa kata ‘Allah’ itu sebenarnya merupakan pilihan kata yang justru paling tepat untuk mendiskripsikan pengertian Tuhan Yang Esa (One God) menurut ajaran monoteisme Yahudi, Kristen, dan Islam.
Baca juga: Piagam Madinah sebagai Konstitusi Tertulis Pertama
Seperti diketahui, secara bahasa kata “Allah” itu berasal dari bahasa Arab, yaitu kata “ilah” yang berarti tuhan atau sesuatu yang disembah. Namun kata ‘ilah’ dalam bahasa Arab dapat berbentuk tunggal (singular), ‘ilah’ (god), ataupun jamak (plural), ‘al-ilah’ (gods).
Selain itu, kata ‘ilah’ itu juga dapat bersifat laki-laki (male) atau perempuan (female), seperti halnya dalam bahasa Inggeris ada ‘god’ untuk dewa dan ada ‘goddess’ untuk dewi. Akan tetapi berbeda dengan kata “ilah”, kata ‘Allah’ memiliki keunikan tersendiri, yaitu bermakna dzat tunggal (singular) yang tidak mempunyai jenis kelamin (male or female) serta sarat dengan nilai-nilai pengagungan dan ketunduk-pasrahan kita kepadanya.
Allah juga berarti satu-satunya yang wajib kita sembah (The Only One to be Worshipped). Oleh karena itu, kata ‘Allah’ ini sangatlah tepat disebut sebagai sebutan nama Tuhan yang paling tepat untuk kita sembah dalam ajaran filosofi sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Harus diakui bahwa kata “Allah” identik dengan tuhan dalam agama monoteisme (Islam, Protestan, Katolik) dan kurang akrab bagi kalangan umat Buddha, Hindu, Konghuchu dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap kata “Allah” harus dipahami secara inklusif. Kata “Allah” sebagaimana dimaksud dalam pembukaan UUD 1945haruslah diartikan padatuhan universal (Universal God) yang dimiliki oleh semua umat beragama.
Hanya saja, untuk kebutuhan internal masing-masing agama, dalam penyebutannya dikenal dengan macam-macamistilah yang diyakini oleh setiap agama yang khas untuk pengertian Tuhan yang sama, yaitu Allah Yang Maha Kuasa atau Tuhan Yang Maha Esa itu. Karena dengan begitu kerukunan antar umat beragama dalam bangsa kita ini dapat dirawat dengan sebaik-baiknya.