Jendelahukum.com, Perspektif – Hukum bukanlah teks yang berada di ruang kosong. Hukum akan selalu dipengaruhi oleh budaya dimana hukum itu berada. Oleh karena itu, hukum dan budaya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hukum mencerminkan budaya yang ada dalam masyarakat, atau setidak-tidaknya budaya diakui sebagai fakta determinan dari hukum.
Dalam suatu masyarakat yang patriarkhis, dapat dikatakan bahwa hukum seringkali abai terhadap persoalan-persoalan perempuan. Sebab Hukum diinformasikan oleh laki-laki dan bertujuan memperkokoh hubungan sosial yang patriarkhis. Akibatnya, hukum yang dihasilkan adalah hukum yang seksis atau bias laki-laki.[1]
Baca juga: Medusa dan Feminist Legal Theory
Ideologi patriakhi yang dibangun dalam relasi gender yang berbasis kepentingan dan kekuasaan kaum laki-laki berpengaruh kental dalam melanggengkan ketidakadilan gender termasuk dalam sistem hukum. Hukum seringkali hanya mengakomodir kepentingan laki-laki sebagai subyek yang tersangkut dari suatu hukum tersebut.
Hukum yang demikian itulah yang kemudian menjadi sasaran kritik dari para feminis sehingga melahirkan aliran baru dalam teori hukum, yaitu feminist legal theory atau Feminist Jurisprudence.
Apa itu Feminis Legal Theory?
Secara historis, pemikiran awal Feminist Legal Theory muncul mengikuti gelombang pemikiran para feminis, khususnya gelombang kedua dari feminis Amerika yang merefleksikan ketertarikannya pada bidang hukum, yaitu pada akhir tahun 1960-an dan selama tahun 1970-an.
Realitas tersebut disebabkan dengan semakin meningkatnya perempuan Amerika yang memilih bidang studi hukum dan dimulainya kritik-kritik mereka pada teori-teori hukum yang tidak memiliki kontribusi pada permasalahan hukum yang berkaitan dengan perempuan.
Oleh karena itu, ranah perjuangan perempuan dalam hukum dimaknai sebagai keleluasaan perempuan mengakses keadilan subtantif, termasuk mempersoalkan proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang selama ini cenderung elitis, teknokratis, serta membelenggu perempuan.
Baca juga: Penggalan Teori; Sistem Hukum Ala M.Friedman
Dalam hal ini, eksistensi feminist legal theory merupakan suatu aliran pemikiran hukum yang dimaksudkan untuk mendobrak ketimpangan yang disebabkan oleh hukum yang selama ini dijargonkan sebagai justice for all, netral, objektif, dan setara untuk siapapun, termasuk laki-laki dan perempuan.
Aliran ini meyakini bahwa hukum sebagai cerminan dari filosofi politik hanya dilihat dari sudut pandang laki-laki yang mendominasi peran perpolitikan suatu negara, sehingga pada akhirnya hukum yang lahirpun ”berjenis kelamin laki-laki” karena pembuat hukum didominasi oleh laki-laki.[2]
Dalam keadaan seperti itu, laki-laki menjustifikasi hegemoni mereka, dan ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dengan cara merusukan suatu aturan hukum yang hanya berpihak kepada mereka.
Hukum dalam sorotan feminist legal theory merupakan serangkaian struktur yang dibangun berdasarkan kebenaran artifisial yang meyatakan seolah keadilan tercermin dalam hukum yang netral dan tidak berpihak.[3] Padahal yang terjadi sebenarnya adalah proses panjang kristalisasi nilai-nilai politik, ekonomi, sosial budaya, etnik, gender, dan agama, yang dipengaruhi oleh budaya patriarki.[4]
Yang Diperjuangkan FLT
Feminist legal theory memperjuangkan konsep hukum yang didasari oleh pengalaman perempuan sebagai starting point. Kesadaran hukum bagi perempuan pun perlu dibangun untuk memperoleh hak-hak dan kesempatan yang sama.
Para pemikir Feminst Legal Theory sangat dipengaruhi aliran-aliran feminis yang berkembang liberal, radikal, kultural, dan ekofimisme/post modernis yang kemudian berpengaruh pada cara pandang yang berbeda dengan teori-teori hukum konvensional dalam mengkaji hukum.
Sebagaimana penjelasan Robert West yang menyampaikan bahwa kegagalan teori hukum moderen terletak pada ketidakpahaman mengenai apa yang dimaksud dengan manusia.
Baca juga: Mengenal Aliran Hukum Positif
Pria diasumsikan sebagai individual yang secara esensial terpisah dari lainnya. Dia membantah akibat hubungan wanita dengan manusia lainnya hanya karena didasarkan pada aktivitas biologis, seperti kehamilan, pemberian ASI dan hubungan heterosexual.
Feminist legal theory bersifat kongkret dalam kecenderungannya pada permasalahan, dengan memberi perhatian pada kondisi material hukum dan konsekuensinya dalam kehidupan nyata manusia.[5]
Selain dipengaruhi oleh aliran feminis utama, mereka juga dipengaruhi oleh aliran Critical Legal Theory (CLS). Sama dengan CLS, aliran Feminist Legal Theory, secara tegas menolak objektifikasi dan netralitas hukum dari aliran positivisme yang menurut mereka hanya akan melahirkan hukum yang tidak adil gender atau seksis.
Dalam prakteknya konsep netralitas dan objektivitas hukum justru terbukti membenarkan marginalisasi perempuan dan berbagai kelompok minoritas lainnya.[6]
Sumber:
[1] Sulistyowati Irianto, Lim Sing Meij, Firliana Purwanti, Luki Widiastuti. Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedar Narkotika, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007 (Editor B. Rahmanto), 2007: 354
[2] Savitri, Niken, 2008, Feminist Legal Theory Dalam Teori hukum. Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Irianto, Sulistyowati, Ed., Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hlm. 56; lihat juga Rifkin, Janet, 1993, Toward a Theory of Law and Patriarchy. Feminist Legal Theory: Foundation, Weisberg, D. Kelly, Ed., Temple University Press, Philadelphia. Hlm. 412-417; Polan, Diane, ibid. hlm. 419-435
[3] Danardono, Donny, 2008b, Teori Hukum Feminis: Menolak Netralitas Hukum. Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, kedua ed., Irianto, Sulistyowati, Ed., Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hlm. 25
[4] Aditya Yuli Sulistyawan, “Feminist Legal Theory dalam Telaah Paradigma; Suatu Pemetaan Filsafat Hukum”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47, No.1, Januari 2018, hlm. 59-60.
[5] Niken Savitri,
[6] D. Kelly Weisberg (ed), Feminist Legal Theory :Foundations, (Philadelphia: Temple University Press,1993.