Rabu, Agustus 20, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Polemik Pencalonan OSO Sebagai Caleg DPD RI

Jendelahukum.com, Perspektif – Komisi Pemilihan Umum (KPU) dihadapkan pada dua pilihan dilematis terkait status pencalonan Oesman Sapta Oedang (OSO) sebagai anggota DPD RI pada 2019 mendatang. Persoalannya, terjadinya perbedaan pendapat antara MK No. 30/PUU-XVI/2018 dan Putusan MA No. 65/PHUM/2018 perihal keberlakuan norma Pasal 60A PKPU 26/2018, sedikit membuat KPU bimbang dalam menentukan sikap;

Apakah KPU akan menganulir keputusannya mencoret OSO dari daftar calon anggota DPD RI, atau tetap pada pendiriannya, yaitu mendiskualifikasi OSO sebagai calon anggota DPD RI.

Baca juga: Status dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Pada dasarnya, terlepas dari kontroversi yang muncul, suatu putusan pengadilan berlaku mengikat dan wajib ditaati oleh semua pihak selama belum ada putusan lain yang menganulir keberlakuannya. Dalam hal ini, berlaku sebuah adagium yang mengatakan; Res Judicata Pro Veritate habetur, yang artinya putusan hakim harus dianggap benar.

Namun bagaimana jadinya jika dalam dua putusan Pengadilan terdapat perbedaan pendapat terkait satu persoalan yang sebenarnya memiliki subtansi yang sama, seperti hal yang dihadapi KPU saat ini. Tentu dibutuhkan kajian yang cukup mendalam untuk mendapat satu argumentasi yang kuat dan dapat dijadikan pijakan bagi KPU untuk menentukan sikap terkait status pencalonan OSO sebagai anggota DPD RI.

Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba argumentasi pribadi sebagai referensi alternatif bagi KPU maupun pembaca untuk memahami persoalan yang sebenarnya terjadi dalam polemik pencalonan OSO sebagai anggota DPD RI.

Akar Persoalan

Alasan pokok kenapa kemudian MA menerima sebagian permohonan pemohon adalah anggapan bahwa pemberlakuan ketentuan pasal 60A PKPU 26/2018 tidak mengikuti prinsip keberlakuan putusan MK yang berlaku non-retrospektif sebagaimana tercermin dalam pasal 47 UU MK yang menyatakan bahwa; “Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”.

Lebih lanjut MA menyatakan bahwa ketentuan 60A PKPU 26/2018 bertentangan dengan asas-asas pembetukan peraturan perundang-undangan yang baik, sebagaimana termuat dalam pasal 5 UU PUU, khususnya huruf d, yaitu “dapat dilaksanakan”. Selain itu juga bertentangan dengan pasal 6 Ayat (1) UU PUU, khususnya huruf I, yaitu “ketertiban dan kepastian hukum”.

Berangkat dari argumen tersebut, MA kemudian mengeluarkan putusan bersyarat dengan menyatakan bahwa ketentuan Pasal 60A PKPU 26/2018 tetap memiliki kekuatan hukum mengikat dan berlaku umum sepanjang tidak diberlakukan surut terhadap peserta pemilu anggota DPD 2019 yang telah mengikuti Tahapan, Program dan jadwal penyelenggaraan Umum Tahun 2019 berdasarkan PKPU 7/2017.

Baca juga: Apa Saja Asas Peraturan Perundang-Undangan?

Padahal jika mengacu pada Putusan No. MK No. 30/PUU-XVI/2018, MK secara jelas mengamanatkan KPU untuk menerapkan amar putusannya, yang melarang fungsionaris parpol menjadi calon anggota DPD, terhadap para calon anggota DPD yang akan berkompetisi dalam pemilu 2019.

Dalam hal inilah terlihat perbedaan pandangan antara MK dan MA terkait pemberlakuan asas non-retrospektif terhadap putusan MK. Bagi MA pemberlakuan amar putusan MK tersebut, melalui Pasal 60A PKPU 26/ 2018, terhadap para peserta yang telah ditetapkan sebagai daftar calon sementara oleh keputusan KPU.

Sedangkan bagi MK, pemberlakuan asas non-retrospektif putusan MK cukup dengan tidak memberlakukannya terhadap fungsionaris parpol yang sampai saat putusan itu dibacakan sedang menjabat sebagai anggota DPD. Dengan demikian, anggota DPD yang juga pengurus partai politik tersebut dipilih sebelum adanya putusan ini, harus dianggap didasarkan atas undang-undang yang konstitusional.

Namun demikian, alasan tersebut tidak berlaku terhadap yang bersangkutan selama yang bersangkutan tidak mencalonkan diri kembali sebagai anggota DPD setelah dikeluarkannya Putusan MK. Artinya, untuk selanjutnya, anggota DPD sejak pemilu 2019 dan pemilu-pemilu setelahnya yang merangkap sebagai fungsionaris parpol adalah inkonstitutisional atau bertentangan dengan UUD 1945.

Pendirian MK tersebut sebenarnya cukup beralasan mengingat dalam beberapa putusan lain yang dikeluarkan sebelumnya, MK telah banyak memberikan perintah tersirat tentang kelembagaan DPD, mulai dari Putusan MK Nomor 10/PUU-VI/2008, No. 92/PUU-X/2012, No. 79/PUU-XII/2014. Sayang, perintah tersebut sengaja diabaikan dan tidak kunjung dirumuskan dalam undang-undang oleh pembentuk undang-undang, hingga akhirnya memicu pengujian secara berulang-ulang.

Kedudukan MK dan MA 

Desentralisasi kewenangan pengujian perundang-undangan demikian memang masih menyisakan celah terjadinya pertentangan pendapat antara kedua lembaga tersebut menghadapi norma tertentu. Lebih-lebih jika undang-undang yang dijadikan batu uji oleh MA tidak sedang diuji oleh MK. Seperti halnya yang terjadi pada polemik keberlakuan pemberlakuan Pasal 60A PKPU 26/2018 dalam putusan MA dan MK.

Apa yang terjadi dalam polemik pemberlakuan Pasal 60A PKPU 26/2018 merupakan anomali tersendiri bagi sistem pengujian perundang-undangan Indonesia. Lahirnya mekanisme pengujian perundang-undangan tentu tidak bisa lepas dari postulasi yang mengatakan bahwa norma hukum itu sejatinya tersusun secara hierarkis yang menentukan derajatnya masing-masing.

Baca juga: Asas Lex Specialis Derogate Legi Generali

Hal ini dibarengi dengan konsekuensi bahwa jika terjadi pertentangan norma, maka norma yang lebih tinggilah yang harus dimenangkan. Dengan kata lain, norma hukum yang lebih rendah harus sesuai dan tervalidasi dengan norma hukum yang lebih tinggi.

Dalam konteks sistem hukum nasional, Pasal 7 UU 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PUU), menjelaskan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut tersusun secara hierarkis mulai dari; (1) UUD 1945; (2) Tap MPR; (3) UU/Perppu; (4) Peraturan Pemerintah; (5) Peraturan Presiden; (6) Peraturan Daerah Provinsi; dan (7) Peraturan Daerah Kabupaten/kota.

Lebih lanjut Pasal 9 UU PUU menentukan bahwa dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan undang-undang dasar 1945, pengujiannya dilakukan oleh MK. adapun dalam hal peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diduga bertentangan dengan undang-undang, maka pengujiannya dilakukan oleh MA.

Berkaitan dengan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) yang dimiliki oleh kedua lembaga tersebut, Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa kewenangan pengujian yang dilakukan oleh MK dapat disebut sebagai judicial review on the constitutionality of legislative law or legislation.,

Artinya MK konstitusionalitas UU. Sedangkan  MA disebut sebagai judicial review on the legality of regulation, yaitu kewenangan untuk menguji legalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.(Asshiddiqie,2010:6)

Dengan demikian terlihat bahwa letak perbedaan antara kewenangan tersebut selain ada pada obyek peraturan perundang-undangan yang diuji, juga terletak pada peraturan perundang-undangan yang menjadi batu uji yang digunakan dalam melakukan pengujian.

Apa yang menjadi batu uji dalam pengujian yang dilakukan oleh MK adalah UUD atau Konstitusi itu sendiri. Hal ini membawa konsekuensi yuridis secara mutatis mutandis kewenangan untuk menyelidiki atau menafsirkan UUD atau konstitusi. (Abdul Latif, 2009: 323-324).

Lain halnya dengan MA, ia harus taat pada penafsiran MK terhadap suatu ketentuan materi undang-undang tertentu. Oleh karena itu, dalam hal terjadi pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan oleh MA harus dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujiannya sedang dalam proses pengujian MK sampai ada putusan MK.

Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa sekalipun secara kelembagaan MK dan MA sama-sama berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara, akan tetapi jika dikaitkan dengan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan, maka kedudukan putusan MK lebih tinggi daripada putusan MA.

Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa pandangan demikian selaras dengan prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi konstitusi. Pada tataran idealnya, MA seharusnya bersandar pada takaran konstitusionalitas yang ditetapkan oleh MK terkait penafsiran Pasal 60A PKPU No. 26 tahun 2018, bukan malah mengangkanginya dengan membuat tafsiran yang berbeda jauh dengan apa yang ditafsirkan oleh MK.

Oleh karena itu, perlu ada keraguan lagi bagi KPU untuk mencoret OSO dari daftar caleg sementara angggota DPD RI. Sekalipun kemudian didesak dan ditekan dengan membawa perkara tersebut ke Bawaslu. Tidak ada tindakan lain kecuali; Lawan!. Demi menjunjung tinggi supremasi konstitusi di negeri ini.

 

hallojendela
hallojendelahttps://www.jendelahukum.com/
Melihat hukum dari berbagai perspektif

Recent Post

Related Stories

For Subcription