Jendelahukum.com, Perspektif – Praktik jual beli Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HM-sarusun) berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sudah menjadi hal yang lazim dilakukanoleh masyarakat. Pembuatan PPJB sebagai dasar hubungan hukum para pihak sebelum melakukan jual beli ini lahir berdasarkan kebiasaan dan kebutuhan masyarakat.
Untuk dapat melakukan jual beli HM-sarusun, maka para pihak terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan-persyaratan jual beli, seperti pelunasan harga, sarusun masih dalam proses pembangunan, pembayaran pajak, pemecahan sertifikat, dan lain sebagainya.
Ketika pembeli sudah tertarik dengan sarusun tersebut, dan berniat ingin membeli terlebih dahulu sebelum ditawar oleh orang lain, maka pembeli biasanya memberikan DP kepada pengembang, dengan harapan agar sarusun tersebut tidak ditawarkan kepada orang lain.
Baca juga : Amankah Beli Apartemen Dengan Dasar PPJB?
Disinilah letak urgensi PPJB. Untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada para pihak, maka dibuatlah suatu perikatan jual beli yang isinya sama seperti jual beli pada umumnya, namun bentuknya hanya merupakan perikatan awal atau biasa disebut perjanjian pendahuluan. PPJB ini dapat dibuat dalam bentuk dibawah tangan maupun dengan akta autentik.
Selain itu, apabila ditinjau dari segi pengaturannya, maka lahirnya PPJB dalam proses jual beli HM-sarusun ini adalah karena adanya pembatasan oleh Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, bahwa HM-sarusun baru dapat diperjualbelikan ketika satuan rumah susun (sarusun) tersebut telah selesai dibangun dan dapat dihuni. Dengan demikian, pembuatan dan penandatanganan Akta Jual Beli (AJB) atau peralihan HM-sarusun baru dapat dilakukan setelah sarusun selesai dibangun dan dapat dihuni.
Dengan motif untuk mendapatkan sarusun yang diinginkan, sebelum adanya penawaran dari pihak lain, maka dalam praktik berdasarkan kebiasaan masyarakat, sarusun yang belum selesai dibangun diperjualbelikan dengan berdasarkan pada PPJB.
Hal inilah kemudian yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun, yaitu dalam rangka untuk mengamankan kepentingan penjual dan pembeli yang melakukan jual beli HM-sarusun berdasarkan PPJB.
Dalam perkembangannya, pada 10 November 2011 lahirlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, sebagai pembaharuan undang-undang rumah susun sebelumnya.
Baca juga: Asas Presumptio Iustae Causa
Berdasarkan Pasal 43 UU No. 20 Tahun 2011 bahwa jual beli HM-sarusun yang belum selesai dibangun dapat dilakukan berdasarkan PPJB yang dibuat dihadapan Notaris apabila telah memenuhi persyaratan kepastian atas:; (1) status kepemilikan tanah; (2) Kepemilikan IMB; (3) Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; (3) Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan (4) Hal yang diperjanjikan.
Hal-hal yang diperjanjikan dalam PPJB menurut UU No. 20 Tahun 2011 adalah kondisi sarusun yang dibangun dan dijual kepada konsumen yang dipasarkan, termasuk melalui media promosi, antara lain: lokasi rumah susun, bentuk sarusun, spesifikasi bangunan, harga sarusun, prasarana, sarana, dan utilitas umum rumah susun, fasilitas lain, serta waktu serah terima sarusun.
Apa yang dimaksud dengan PPJB?
Pengertian PPJB dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 42 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, bahwa yang dimaksud dengan Perjanjian pendahuluan jual beli atau PPJB itu adalah kesepakatan melakukan jual beli rumah yang masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah dengan penyedia rumah yang diketahui oleh pejabat yang berwenang.
Pejabat yang dimaksud adalah Notaris, sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik. Definisi tersebut hanya terbatas pada jual beli HM-sarusun yang masih dalam proses pembangunan saja. Padahal dalam praktik, PPJB juga dapat digunakan karena beberapa faktor lain.
Menurut Urip Santoso, faktor-faktor tersebut diantaranya seperti: harga jual beli HM-sarusun belum dibayar lunas, pensertifikatan hak atas tanah yang masih dalam proses penyelesaian di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, belum dilunasinya pajak penghasilan, belum dilunasinya Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB), dan lain-lain proses yang diwajibkan sebagai dasar peralihan HM-sarusun.
Baca juga: Mau mendirikan PT? Inilah Syarat dan Tahapan-tahapannya
Pada intinya, PPJB dibuat dalam rangka untuk mengikat penjual dan pembeli yang akan melakukan jual beli HM-sarusun, yang pada saat itu persyaratan-persyaratan (baik persyaratan oleh undang-undang maupun persyaratan berdasarkan perjanjian) untuk dapat dilakukan jual beli HM-sarusun belum dapat dipenuhi.
Definisi PPJB juga dapat ditemukan dalam beberapa pendapat, misalnyaR. Subekti yang mendefinisikan PPJB sebagai suatu perjanjian antara penjual dan pembeli sebelum dilaksanakan jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut, antara lain sertipikat belum ada karena masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga.
Kemudian, Herlien Budiono mendefinisikan PPJB dalam fungsinya, yaitu salah satu bentuk dari perjanjian bantuan yang berfungsi untuk mempersiapkan para pihak pada perjanjian utama, yaitu perjanjian jual beli sebagai tujuan akhirnya.
Dengan demikian, perlu dibedakan antara PPJB sebagai perjanjian bantuan dengan perjanjian jual beli sebagai perjanjian pokoknya. PPJB juga merupakan suatu bentuk perjanjian obligatoir yaitu suatu perjanjian yang untuk peralihan haknya dibutuhkan adanya levering.
Khusus mengenai levering hak atas tanah dan HM-sarusun, pasca berlakunya UUPA, tidak mengacu pada KUH Perdata lagi, tetapi telah diatur khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Mengenai hal ini akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan selanjutnya.
Apakah PPJB mengakibatkan beralihnya HM-sarusun kepada pembeli?
Sebelum berlakunya UUPA, maka proses peralihan HM-sarusun didasarkan pada ketentuan KUH Perdata. Jual beli berdasarkan Pasal 1457 KUH Perdata adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar sejumlah harga yang telah dijanjikan.
Selanjutnya, Pasal 1458 KUH Perdata menyatakan bahwa jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak setelah para pihak mencapai kata sepakat mengenai barang dan harga, meskipun barang belum diserahkan penjual, dan pembelipun belum membayar harganya (konsensual).
Menurut Pasal 1459 KUH Perdata, bahwa hak milik atas barang yang dijual belum beralih kepada pembeli selama barang tersebut penyerahannya (levering) belum dilakukan (obligatoir). Dengan demikian, jual beli menurut KUH Perdata bersifatkonsensual-obligatoir.
Mengenai konsep levering HM-sarusun menurut KUH Perdata, diatur dalam Pasal 616 dihubungkan dengan ketentuan Pasal 620, yaitu dilakukan dengan suatu perbuatan hukum berupa “balik nama”(overschrijving) dimuka pegawai kadaster (Kantor Pertanahan).Setelah berlakunya UUPA, maka peralihan HM-sarusun melalui proses jual beli cukup dilakukan dalam satu perbuatan hukum saja, yaitu jual beli yang dilakukan secara terang, tunai, dan riil.
Baca juga: Apa Itu Prinsip Vicarious Liability?
Menurut Boedi Harsono, jual beli tanah bersifat terang, artinya perbuatan hukum tersebut dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuatnya, jadi bukan perbuatan yang dilakukan secara “gelap” yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Tunai, artinya bahwa dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain. Nyata atau riil, yang berarti bahwa akta yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata perbuatan hukum jual beli yang dilakukan.
Selanjutnya, dasar pengaturan jual beli HM-sarusun ini diatur lebih lanjut dalam PP No. 24 Tahun 1997.Berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997, bahwa peralihan HM-sarusun melalui proses jual beli hanya dapat didaftarkan apabila dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. Akta yang dimaksud adalah Akta Jual Beli (AJB). Secara eksplisit, bunyi Pasal 37 ayat (1) adalah sebagai berikut:
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dengan demikian, peralihan HM-sarusun yang dilakukan melalui proses jual beli ini terjadi pada saat para pihak menandatangani AJB dihadapan PPAT yang berwenang. Dengan dilakukannya jual beli dihadapan PPAT, maka terpenuhilah syarat terang. Penandatanganan AJB yang sekaligus mengakibatkan terjadinya peralihan hak adalah untuk memenuhi syarat tunai.AJB yang dibuat dan ditandatangani para pihak digunakan sebagai bukti bahwa secara nyata (riil) perbuatan hukum peralihan hak tersebut telah dilakukan.
Kemudian, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan PPJB? Apakah PPJB dapat mengakibatkan terjadinya peralihan HM-sarusun kepada pembeli?
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka menurut penulis PPJB tidak mengakibatkan beralihnya HM-sarusun kepada pembeli. PPJB tidak dapat digunakan sebagai bukti peralihan hak. Pembuatan PPJB tidak untuk melakukan peralihan hak, tapi hanya merupakan perikatan pendahuluan yang mempersiapkan para pihak pada proses peralihan hak yang sesungguhnya, yaitu melakukan jual beli dihadapan PPAT. Akta yang dibuat PPAT (AJB) inilah kemudian yang dapat digunakan sebagai bukti telah dilakukannya peralihan hak.
Berkaitan dengan hal ini, terdapat suatu putusan menarik untuk dikaji, dimana dalam putusan tersebut, majelis hakim menyatakan bahwa PPJB yang telah dibayar lunas telah mengakibatkan beralihnya HM-sarusun kepada pembeli. Untuk lebih jelasnya, akan penulis uraikan dalam pembahasan selanjutnya.
Kasus Penyitaan HM-sarusun oleh Kurator
Kasus ini berawal dari pailitnya PT. Dwimas Andalan Bali (PT. DAB), yaitu sebuah perusahaan pemilik (pengembang) Bali Kuta Residence. PT. DAB dinyatakan pailit pada tanggal 11 Agustus 2011 berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga Surabaya Nomor 20/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby. juncto Putusan Kasasi Nomor 692 K/Pdt.Sus/2011.
Akibat kepailitan PT. DAB, maka seluruh harta kekayaan PT. DAB disita oleh Kurator. Salah satu aset yang ikut disita adalah satuan-satuan rumah susun Bali Kuta Residence. Penyitaan tersebut ternyata mendapatkan perlawanan dari para konsumen PT. DAB yang sudah melakukan pembayaran lunas berdasarkan PPJB (tanpa kuasa menjual) atas satuan-satuan rumah susun Bali Kuta Residence.
Baca juga: Ini dia, Beberapa Ketentuan Pendaftaran Tanah Sesuai PP 24 Tahun 1997
Para pelawan mendasarkan dalil perlawanannya berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, bahwa: “Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor.”
Selanjutnya, penjelasan Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa:
“Yang dimaksud dengan “hal-hal lain”, adalah antara lain, actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara dimana Debitor, Kreditor, Kurator, atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk gugatan Kurator terhadap Direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya.”
Adapun yang dimaksud perlawanan pihak ketiga atas penyitaan oleh kurator adalah perlawanan oleh pihak yang hak miliknya ikut disita dan dimasukkan kedalam harta pailit. Terhadap perlawanan tersebut, Pengadilan Niaga Surabaya menerima gugatan perlawanan para pelawan dan menyatakan satuan rumah susun tersebut di coret dari Daftar Harta Pailit.
Adapun secara singkat, pertimbangan hukumnya adalah bahwa oleh karena para pelawan telah membayar lunas HM-sarusun dan telah pula dilakukan penyerahan sarusun oleh PT. DAB. Meskipun AJB dan Sertifikat HM-sarusun belum dibuat, tidak berarti Para Pelawan bukan pemiliknya, karena hal itu merupakan proses administrasi belaka.
Berdasarkan Pasal 1457 KUH Perdata, maka barang yang dijual tersebut telah menjadi milik pembeli. Oleh karena itu, menurut Majelis Hakim, ketiga obyek sengketa bukan lagi milik PT. DAB. Sebagai konsekuensi hukumnya, kurator harus menyerahkan obyek sengketa tersebut kepada Para Pelawan.
Baca juga: Polemik Pencalonan OSO Sebagai Caleg DPD RI
Hal itu karena berdasarkan Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945, bahwa: setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Dengan demikian hak para pelawan dilindungi secara konstitusional.
Pertimbangan hukum tesebut sangat menarik untuk dikaji, bahwa Majelis Hakim masih mendasarkan putusannya menurut Pasal 1457 KUH Perdata. Padahal ketentuan mengenai peralihan HM-sarusun tidak lagi didasarkan pada ketentuan KUH Perdata. Ketentuan Pasal 1457 KUH Perdata tidak menyatakan saat terjadinya peralihan hak, melainkan hanya saat terjadinya perjanjian. Perlu diingat bahwa jual beli menurut KUH Perdata adalah bersifat konsensual obligatoir.
Apabila kita mengacu pada ketentuan-ketentuan peralihan HM-sarusun berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997, maka hanya dengan PPJB belumlah dapat mengakibatkan beralihnya HM-sarusun dari penjual kepada pembeli. Dengan demikian, secara hukum HM-sarusun masih marupakan milik PT. DAB. Oleh karena itu, penggunaan Pasal 3 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 sebagai dasar gugatan perlawanan para konsumen tersebut adalah tidak tepat, dan seharusnya diputus tidak dapat diterima.