Jendelahukum.com, Perspektif – Diskursus penetapan kebijakan Presidential Threshold, yang menentukan ambang batas 20% (dua puluh persen) dari kursi DPR atau 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional hasil perolehan pemilu untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, merupakan topik menarik sekaligus menimbulkan perdebatan panjang perihal konstitusionalitas dan urgensitasnya.
Dalam perjalannya pun, ketentuan Threshold itu telah berulang-ulang kali diujikan ke Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir tunggal konstitusi Indonesia (The sole interpreter of constitution). Mahkamah Konstitusi pun kemudian mengeluarkan beberapa putusan yang pada intinya menegaskan bahwa kebijakan presidential Threshold itu merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang pengaturannya diserahkan sepenuhnya kepada pembentuk undang-undang.
Baca juga: Parlemen dibubarkan, Demokrasi Nepal Kian Terancam
Sehingga tidak ada persoalan konstitusionalitas yang harus dipermasalahkan. Namun yang menjadi catatan, putusan-putusan MK tersebut dikeluarkan pada saat pemilu dilaksanakan secara berkala.
Kini pasca dikeluarkannya UU Pemilu yang baru. kebijakan Presidential Threshold itu tetap diberlakukan dan diatur dalam pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (UU Pemilu). Secara eksplisit, bunyi pasal 222 tersebut sebagai berikut;
“Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Menanggapi hal itu, beberapa perwakilan partai politik dan elemen masyarakat mengujikan kembali ketentuan Presidential Threshold itu melalui mekanisme Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Pokok permasalahannya adalah adanya perubahan mendasar pasca putusan MK No.14/PUU-XI/2013 yang mengamanatkan penyelenggaraan pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif secara serentak pada tahun 2019 mendatang.
Presidential Threshold Sebagai Open Legal Policy
Bagi sebagian orang, perihal konstitusionalitas Presidential Threshold telah mendapat putusan final dari Mahkamah Konstitusi sebagai norma kebijakan hukum open legal policy. Sehingga secara pesimis mereka pun berpendapat bahwa pengujian terhadap norma Presidential Threshold akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Namun benarkah demikan? Untuk menjawab persoalan ini, penting bagi kita untuk memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan norma open legal policy itu.
Pengertian norma open legal policy dapat diartikan sebagai norma undang-undang yang materinya tidak diatur dalam UUD 1945. Adakalanya pengaturan norma tersebut merupakan perintah eksplisit UUD 1945 kepada pembentuk undang-undang untuk mengatunya secara lebih lanjut sehingga tidak terkait dengan permasalahan konstitusionalitas.
Baca juga: Benarkah NKRI Harga Mati?
Sebagai konsekuensinya, pengaturan norma open legal policy dapat saja sewaktu-waktu berubah sesuai dengan politik hukum yang dipilih oleh pembentuk undang-undang.
Sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang membatalkan materi open legal policy selama tidak menegasikan prinsip-prinsip dalam UUD 1945. meskipun seandainya materi tersebut dinilai buruk. Pembatalan terhadap materi undang-undang yang termasuk norma open legal policy hanya diperbolehkan sepanjang materi tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidak-adilan yang intorable.
Berangkat dari hal itu, pengajuan kembali judicial review terhadap norma presidential threshold tetap memiliki peluang untuk dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi mengingat perubahan mendasar dalam penyelenggaran pemilu pada tahun 2019 nanti. Lagi pula, dengan dilaksanaannya pemilu secara serentak keberadaan presidential threshold itu sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan karena tidak memiliki pijakan yang jelas pada hasil pileg yang mana presidential threshold itu akan diacukan.
Baca juga: Melawan Tradisi Buruk Dalam Demokrasi
Pemerintah bisa saja menawarkan hasil pileg 2014 sebagai acuan dalam penggunaan presidential threshold pada pilpres tahun 2019 yang akan datang. Akan tetapi tawaran ini tidak memiliki dasar argument yang kuat karena hasil pileg 2014 itu sendiri sudah pernah digunakan dalam pilpres 2014.
Konfigurasi politik pun bisa saja berubah dari waktu ke waktu. Itulah mengapa dalam setiap lima tahun sekali Indonesia menyelenggaran pemilihan umum guna memberikan kesempatan masyarakat untuk mengevaluasi pemimpin-pemimpin atau wakil-wakil yang terpilih pada pemilu sebelumnya.
Di samping itu, penetapan hasil pileg 2014 sebagai acuan pilpres 2019 tidak hanya berpotensi melanggar hak-hak konstitusional partai politik dalam mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hak konstitusional masyarakat, terutama mereka para pemilih baru yang untuk pertama kalinya memiliki hak suara pada pemilu 2019, juga berpotensi dieliminir dengan pemberlakuan kebijakan ini.
Mereka tentu tidak dapat berpartisipasi dalam pemilu 2014 sehingga tidak dapat ikut serta menentukan hasil perolehan suara masing-masing partai politik yang akan mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada tahun 2019. Padahal dalam jangka 5 tahun setelah pileg 2014 diperkirakan tidak sedikit akan lahir individu-individu yang baru memiliki hak suara dalam rentang waktu tersebut.
Bukan Solusi Untuk Sistem Presidensil
Selain perdebatan permasahan konstitusionalitas, kebijakan Presidential Threshold seringkali dikait-kaitkan dengan upaya penguatan sistem presidensil yang dianut oleh Indonesia. Bahkan dalam hal ini, pihak pemerintah dan partai koalisi berpendapat bahwa kebijakan Presidential Threshold dalam UU Pemilu ditujukan untuk menyederhanakan sistem multi-partai Indonesia sehingga dapat menciptakan sistem presidensil yang kuat.
Tjahjo Kumolo selaku Menteri Dalam Negeri pernah berargumen bahwa Presidential Threshold diperlukan agar presiden terpilih mendapat dukungan kuat dari dari DPR. Padahal dengan ada atau tidaknya Presidential Threshold, presiden dan wakil presiden terpilih tetap bisa mendapatkan dukungan politik dari suara mayoritas di DPR. Bedanya hanya terletak pada pembentukan koalisi pendukung pemerintah.
Baca juga: KPU dalam Pusaran Putusan MK dan MA
Jika dengan presidential threshold maka parpol yang tidak mencapai ambang batas dipaksa untuk berkoalisi sebelum pemilihan dilaksanakan dengan tidak menutup kemungkinan bergabungnya parpol-parpol non-koalisi pasca pemilihan.
Sedangkan jika tanpa presidential threshold, tidak ada keharusan bagi parpol untuk berkoalisi sebelum pemilihan karena masing-masing parpol berhak mengajukan pasangan presiden dan wakil presidennya masing-masing. Sementara koalisi pendukungnya bisa dibangun pasca keterpilihan presiden dan wakil presiden yang diusung oleh parpol yang bersangkutan.
Intinya, ada atau tidak adanya presidential threshold, koalisi akan tetap dibutuhkan oleh pemerintah. Sehingga pada akhirnya, bukan penguatan sistem presidensil yang didapatkan melainkan system politik “jual-beli kursi” karena masing-masing pilihan mengharuskan untuk membentuk koalisi yang sebenarnya bukan menjadi ciri khas sistem presidensil. Hal ini tidak lepas dari inkompabilitas kombinasi antara sistem multi-partai dengan sistem presidensil.
Terkait dengan hal ini, kebijakan pembentuk undang-undang yang paling logis dan sudah diterapkan dalam rangka penyederhanaan sistem muti-partai adalah pengetatan verifikasi parpol peserta pemilu dan penaikan parlementary threshold sehingga dapat menyederhanakan konfigurasi politik di DPR. Sedangkan presidential threshold bukanlah suatu solusi yang tepat untuk menguatkan sistem presidensil.
Kebijakan presidential threshold malah hanya akan memunculkan calon presiden-wakil presiden yang “itu-itu saja” tanpa adanya pilihan alternatif lain. Oleh karena itu, tidak berlebihan rasanya, jika kemudian Refly Harun dalam sebuah beberapa kesempatan mengatakan bahwa kebijakan ini merupakan konspirasi jahat para elite politik untuk menjegal calon-calon presiden dan wakil presiden alternalif pilihan rakyat untuk dapat bersaing dalam kontestansi pemilihan presiden dan wakil presiden.