Rabu, Agustus 20, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Menanggapi Penolakan Grace Natalie terhadap “Perda Syariah” dan “Perda Injil”

Jendelahukum.com, Perspektif – Penolakan Grace Natalie, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang terhadap Perda Syariah dan Perda Injil, sebagaimana terlontar dalam sambutannya di acara peringatan hari jadi PSI ke-4 di Indonesian Convention Exhibition (ICE) Tangerang, Banten, beberapa hari lalu, sedikit banyak telah mengulik kembali polemik dan perdebatan mengenai eksistensi perda syariah atau perda yang berbasis agama/syariah yang berlaku di beberapa daerah di Indonesia.

Dari berbagai pro-kontra yang muncul, keberatan sebagian pihak yang tidak setuju terhadap eksistensi perda syariah sebenarnya banyak didasari oleh kekhawatirannya terhadap upaya menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Ada pula yang memandangnya sebagai bentuk ancaman terhadap pancasila.

Baca juga: Perda Berbasis Nilai Agama dalam Perspektif Pancasila

Namun benarkah demikian? Dalam tulisan ini, saya hendak memaparkan beberapa penjelasan sebagai pertimbangan bagi masyarakat sebelum memberikan penilaian terhadap kontroversi yang meliputi eksistensi perda-perda syariah di beberapa daerah Indonesia.

Ajaran Agama sebagai Sumber Hukum Materiel

Penggalian terhadap nilai-nilai agama tertentu sebagai sumber hukum materil dari hukum positif sebenarnya merupakan suatu yang biasa dan wajar dilakukan oleh sebuah negara demokrasi seperti Indonesia. Sebab sekalipun Indonesia bukanlah negara agama, Indonesia pun bukanlah negara sekuler yang anti terhadap agama.

Sebagaimana pandangan Soekarno, parlemen sebagai wakil rakyat dapat saja memasukkan unsur-unsur agama ke dalam kebijakan atau undang-undang negara. Sebab demokrasi Pancasila sejatinya memberikan kompetisi yang sehat (dalam istilah Soekarno; berkebudayaan atau tidak onverdraagzaam), terhadap masing-masing ide yang diajukan dalam parlemen.

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada satupun yang dapat mengelakkan bahwa nilai-nilai agama yang dianut akan mempengaruhi kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Sebuah negara demokrasi pada umumnya akan memformulasikan kesadaran hukum masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai agama tersebut ke dalam hukum positif.

Namun seandainya itu tidak atau belum dilakukan, maka negara pun harus menghormati, serta memfasilitasinya agar hukum yang hidup itu dapat terlaksana dengan baik dalam kehidupan masyarakat. Sebab, ia akan tetap hidup sebagai “the living law” dalam alam pikiran dan kesadaran hukum masyarakat. Dengan demikian, membuat aturan yang bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat hanya akan menjadikan hukum kehilangan wibawanya.

Eksistensi nilai-nilai islam dalam kehidupan masyarakat sama halnya seperti eksistensi nilai-nilai adat yang telah ratusan tahun hidup dalam pergaulan masyarakat. Oleh karenanya, penyerapan terhadap nilai-nilai tersebut ke dalam hukum nasional tetap diperbolehkan sepanjang untuk kemaslahatan bersama.

Dalam tataran undang-undang pun sudah banyak undang-undang yang berbasis pada nilai-nilai syariah. Sebutlah UU Peradilan Agama, UU Perkawinan, UU Perbankan Syariah, Kompilasi Hukum Islam, dan lain-lain sebagainya.

Konsekuensi Demokrasi

Penuangan kesadaran hukum yang berdasarkan nilai-nilai agama ke dalam perda sebenarnya telah dimulai sejak runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998, sebagai konsekuensi dari penerapan desentralisasi. Dalam rangka menjalankan roda pemerintahan daerah, kepala daerah bersama DPRD dapat membuat perda-perda yang berbasiskan kearifan lokal dan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakatnya masing-masing.

Tak bisa dihindari, di beberapa daerah yang berpenduduk mayoritas muslim pun kemudian memasukkan nilai-nilai syariah ke dalam perda. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Media BBC, hingga bulan februari 2017 setidaknya ada kurang lebih 443 perda syariah yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Subtansi perda berbasis syariah cukup beragam tergantung nilai-nilai dan karakteristik yang dimiliki masing-masing daerah.

Dari sekian perda yang bernuansa syariah tersebut, ada perda yang menetapkan larangan minum-minuman beralkohol; ada perda yang yang menetapkan “jum’at taqwa” yakni pada jam tertentu, menjelang shalat jum’at aktivitas dihentikan dan selanjutnya atau sesudahnya baru beraktivitas lagi;

Ada pula perda yang menghimbau muslimah berbusana muslimah. Ada pula perda yang salah satu subtansinya adalah larangan bagi wanita dan pria berdua-duaan di tempat umum setelah jam 22.00, serta larangan pelacuran.

Baca juga: Telaah Kritis Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pilkada Langsung

Pada intinya, eksistensi perda-perda syariah tersebut merupakan bentuk penyerapan terhadap kesadaran masyarakat akan nilai-nilai agama yang pada hakikatnya mengajak pada kebaikan. Begitu pula terhadap perda syariah yang implementasinya ditujukan secara khusus bagi pemeluk agama Islam sejauh terbukti tidak merugikan kelompok agama lain diluar agama islam, tentu tidak ada alasan untuk menolaknya.

Saya sendiri tidak menafikkan bahwa ada beberapa perda yang bermasalah secara subtansi. Sebut saja Perda Propinsi Gorontalo No. 10/2003 tentang Pencegahan Maksiat, yang mengatur seorang perempuan dilarang berada di luar rumah tanpa muhrim antara jam 12 malam sampai jam 4 pagi.

Selain itu, perempuan diwajibkan untuk berpakaian sopan di tempat umum. Aturan ini bisa dipandang bersifat diskriminatif karena menjadikan perempuan sebagai obyek peraturan

Namun demikian, tidak elok rasanya jika hanya karena “seekor hama lantas membakar sawah secara keseluruhan”. Lahirnya perda-perda syariah ini haruslah dipahami refleksi dari dibukanya keran otonomi daerah dan buah dari demokrasi yang tidak dapat dihindari.

Yang perlu diupayakan adalah bagaimana mewujudkan perda-perda yang berbasiskan syariah itu mempunyai manfaat terhadap kesejahteraan bersama tanpa harus melahirkan konflik-konflik sosial yang tidak perlu.

Baca juga: Piagam Madinah sebagai Konstitusi Tertulis Pertama

Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya ingin mengajak pada masyarakat untuk tidak risih terhadap nilai-nilai agama tertentu. Perlu rasanya kita merenungi pernyataan Filsuf Jerman Immanuel Kant yg mengatakan bahwa barang siapa mencari sistem moral yang paling kukuh, maka dia tidak akan mendapatkannya melainkan dalam ajaran agama.

Jika Immanuel Kant saja menyadari eksistensi nilai-nilai ajaran agama sebagai sistem moral yang paling kukuh, lantas masihkah kita akan menolak perda-perda yang berbasis pada nilai agama?. Jawab saja dalam hati masing-masing.

Hazrat Sibghotullah Mujaddidi
Hazrat Sibghotullah Mujaddidi
Praktisi hukum dan Peneliti di Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi.

Recent Post

Related Stories

For Subcription