Jendelahukum.com, Perspektif – Konsep negara kesatuan (unitary state) adalah konsep suatu negara yang tidak mempunyai kesatuan-kesatuan pemerintahan yang mempunyai kedaulatan, selain kedaulatan yang dimiliki oleh pemerintahan pusat.
Kajian pemerintahan negara kesatuan terbagi dalam dua sendi utama, yaitu pertama, system pemerintahan yang sifatnya sentralistik atau yang sifatnya desentralistik. Kedua sifat ini menciptakan karakter hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yang terkait dengan bentuk, susunan, serta pembagian kewenangan atau kekuasaan yang ada pada negara.
Baca juga: Benarkah NKRI Harga Mati?
Artinya, dari bentuk dan susunan negara dapat dilihat apakah kekuasaan itu dibagi ke daerah-daerah pusat kekuasaan itu dipusatkan di pemerintah pusat. Dari sisi pembagian kekuasaan dalam suatu negara, maka bisa berbentuk sistem sentralisasi atau system desentralisasi. System ini secara langsung mempengaruhi hubungan pusat dandaerah dalam melaksanakan pemerintahan di daerah[1].
Pengertian Desentralisasi
Pemahaman tentang desentralisasi masih terus terjadi perdebatan. Hal ini terlihat dari pengertian desentralisasi yang sering memiliki penafsiran yang berbeda-beda. Secara etimologis. Istilah desentralisasi berasal dari Bahasa Latin, yaitu de (lepas) dan centrum (pusat). Menurut perkataannya, desentralisasi adalah melepaskan diri dari pusat. Negara kesatuan dibagi juga dalam pola sentralistik dan pola desentralistik.
Teori desentralisasi dipelopori oleh Van der Pot yang ditulis dalam bukunya Hanboek van Netherlands Staatsrech, Van der Pot membedakan desentralisasi atas desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi territorial menjelma dalam bentuk badan yang didasarkan pada wilayah, berbentuk otonomi dan tugaspembantuan. Desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan badan yangdidasarkan pada tujuan tertentu.[2]
Berdasarkan Pasal 1 ayat (8) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Sedangkan menurut Joeniarto dalam Ni’matul Huda memahamkan kita bahwa desentralisasi adalah wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri[3].
Baca juga: Telaah Kritis Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pilkada Langsung
Dalam pelaksanaan desentralisasi ini pemerintah daerah mendapat begitu besar kewenangan untuk mengurusi segala urusan yang menyangkut hal-hal didaerah kekuasaannya kecuali lima yang tetap menjadi urusan pemerintah pusat.
Selain berkenaan dengan urusan moneter dan fiskal, peradilan, pertahanan dan keamanan, politik luar negeri dan agama pemerintah daerah dapat keleluasaan berdinamika. Dalam perkembangannya desentralisasi tidak begitu saja berdiri tunggal. Ada dan dimunculkan varian lain dari pelaksanaan desentralisasi, yaitu desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization).
Penerapan Desentralisasi di Indonesia
Negara kesatuan dengan pola sentralistik adalah system kenegaraan yang menetapkan seluruh wilayah negara tanpa kecuali, merupakan kesatuan wilayah administrasi dan hukum. Sedangkan, pola desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah. Namun, penyerahan wewenang tersebut tidak mengubah esensi dasar Negara kesatuan.[4]
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, penerapan desentralisasi asimetris dalam bentuk daerah istimewa dan daerah khusus telah lahir dan berjalan sejak dahulu. Hal ini ditegaskan setekah amandemen UUD 1945 dan memiliki dasar hukum dari Undang-Undang Dasar yang berbunyi
“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.[5]
Salah satunya ialah Yogyakarta yang diberikan keistimewaan dalam Undang-Undang (UU) No. 30 Tahun 1950 tentang Pembentukan daerah Istimewa Yogyakarta, yang disempurnakan dengan UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Baca juga: Melawan Tradisi Buruk Dalam Demokrasi
Selanjutnya di Provinsi Aceh (Nangroe Aceh Darussalam) melalui UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang terakhir disempurnakan dengan UU No. 1 Tahun 2016 tentang Pemerintahan Aceh.
Selain itu, diberlakukannya otonomi khusus di Provinsi Papua, yaitu melalui UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Kemudian dikembangkan lagi dengan keluarnya UU No. 35 Tahun 2008 yang menjadikan Papua Barat diberlakukan otonomi khusus. Setelah itu Jakarta juga menyandang status Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Asas desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada daerah, sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu. Sehingga, prakarsa, wewenang atau urusan dan tanggung jawab mengenai urusan-urusan yang diserahkan menjadi tanggung jawab daerah.
Dalam sejarah desentralisasi atau otonomi daerah, Hilaire Barnet, menyatakan: “local government represented an early form of localized self-regulation. The country isdevided into local authorities – either county or district – each having law making andadministrative powers as deligated by Parliament”.[6]
Dalam negara kesatuan, Pemerintah Pusat memegang kedaulatan, pertama, secara internal yaitu supremasi seseorang atau sekumpulan orang dalam negara terhadap individuindividuatau perkumpulan-perkumpulan di dalam wilayah yurisdiksinya. Kedua, eksternal yaitu kemerdekaan absolut suatu negara sebagai keseluruhan dalam kaitannya dengan negara-negara lain.[7]
Desentralisasi melalui otonomi daerah menunjuk hanya kepada masalah-masalah tertentu menyangkut kepentingan khusus daerah. Namun, kadang-kadang lembaga administrasi (pemerintah daerah) yang terpilih, berkompeten untuk membuat norma-norma umum, misalnya undang-undang otonomi (peraturan daerah), tetapi undang-undang ini mesti ada dalam kerangka (frame) undang-undang pusat, yang dibuat oleh legislatif.[8]
Berdasarkan pandangan tersebut menunjukan daerah diberi kewenangan membuat peraturan daerah, untuk mengatur tentang pelaksanaanpemerintahan daerahnya, menurut kepentingan dan kebutuhan pemerintahannya. Namun, pengaturannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintahan pusat, baik konstitusi maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Referensi
[1]Agussalim A Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 62.
[2] Bagir Manan, 1990, Hubungan antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung. Hlm. 29.
[3] Ni’matul Huda. 2014. Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI, Kajian Terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus, dan Otsus. Hal.37
[4] Endarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia, hlm. 59-62.
[5] Lihat Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945
[6] Hilaire Barnet, 2000, Constitutional and Administrative Law, Ed. Ke-3, London: Cavendish Limited, hlm. 496.
[7] CF. Strong, 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern….., Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hlm. 109-110.
[8] Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Terjemahan dari General Theory of Law and State, Nusamedia & Nuansa, Bandung, hlm. 445.